Opini

Jalan Sasak dan Kiai Mahfudz Shiddiq yang Sophisticated

PERADABAN.IDDi mata Kiai Wahid, Kiai Mahfudz adalah sosok problem solver ulung. Di samping dipandang sebagai organisator ulung, beliau juga dinilai sebagai motor penggerak organisasi.

Putra sulung dari Kiai Shiddiq, penulis kitab Nadzam Safinah ini menduduki jabatan Ketua HBNO (kini PBNU) di usia 30 tahun, usia yang sangat belia untuk tampuk jabatan tertinggi.

Sebagai kiai muda yang ngantor di Jalan Sasak No 23 Surabaya itu tak canggung bila harus tampil di depan umum tanpa kopiah. Bahkan, konon, beliaulah tokoh di kalangan NU yang pertama kali berani tampil mengenakan dasi.

Semasa mudanya, bersama Kiai Wahid Hasyim, dia memimpin majalah Soeara NO yang kemudian berganti nama Berita NO dengan memakai side account: Garagus terkadang Abu S. Barri ketika menulis.   

Hadratus Syaikh dan kawan semasanya memang mengenal Mahfudz muda sebagai santri yang piawai debat, lihai bermantiq dan jago berorasi di podium.

1937-1940, dia berkali-kali terpilih menduduki jabatan Ketua HBNO di Malang, Menes, Magelang dan Surabaya. Berkali-kali pula dia menolak.

“Dari segi pengalaman dan pengetahuan tentang NU, saya belum ada apa-apanya dibanding kiai lain yang lebih senior. Saya keberatan dengan jabatan itu,” tandas kiai yang selalu berpenampilan rapi dan necis itu di depan muktamirin.

Mungkin anda juga suka

Hatinya tak bisa menolak ketika Kiai Hasyim, guru yang sudah dianggapnya sebagai orang tua itu setengah memaksa, “Kowe kudu gelem, Fudz!”

Amanat muktamar itu ditaslimi. Lantas, Kiai Hasyim dan Kiai Mahfudz memainkan peran tak ubahnya peran duet mematikan Yorke dan Andy Cole kala Manchester United menjuarai trofi Liga Champions 1999 silam.

Gerakan Mu’awanah

Kiai Mahfudz melakukan transformasi organisasi yang melampaui zamannya. Setiap hari ngantor di Sekretariat HBNO Jalan Sasak No.23 Surabaya dengan pakaian resmi: berjas dan berdasi.

Kiai kelahiran Jember 1907 itu berkonsentrasi penuh di HBNO. Ketika HBNO dibekukan oleh Jepang, beliau kembali menekuni pekerjaan lamanya, yaitu sebagai makelar dan berjualan sepeda reli.

Menurut Kiai Wahid Hasyim, semasa Kiai Mahfudz masih memimpin NU, tidak ada persoalan berat yang tidak bisa segera diselesaikan olehnya. Di mata Kiai Wahid, Kiai Mahfudz adalah sosok problem solver ulung. Di samping dipandang sebagai organisator ulung, beliau juga dinilai sebagai motor penggerak organisasi.

Upayanya menirakati NO itu menuai prestasi yang membanggakan, selain menggagas ANO (Ansor Nahdlatoel Oelama), Kiai Mahfudz juga membidani lahirnya konsep Mabadi’ Khaira Ummah, sebuah konsep yang meletakkan dasar dan strategi untuk mengembangkan kehidupan ekonomi warga NU.

Mungkin anda juga suka

Gerakan Mu’awanah, gerakan tolong-menolong, pun dibentuk guna menopang konsep Mabadi’ Khaira Ummah yang bertumpu pada trilogi sikap, ash-shidqu, al-amanah dan al-wafa’ bi al-ahdi.

Penulis buku “Ijtihad dan Taqlid untuk Rekonsiliasi” ini yang setiap hari-harinya mendampingi Kiai Hasyim dan bertanggung jawab terhadap kondisi kesehatan beliau, menerima siksaan Jepang.

Siksaan kepada Kiai Mahfudz yang masih muda lebih kejam dan berat. Saat keluar dari penjara, kondisi Kiai Mahfudz dalam keadaan sakit yang teramat parah. Dan itulah yang kemudian menyebabkannya meninggal dunia tahun 1944. Ketika itu usianya 37 tahun.  

“Beliau wafat dengan membawa luka-luka siksaan tentara Jepang,” cerita Gus Mus.  

KH Mustofa Bisri pernah bercerita bahwa ketika Indonesia merdeka pada Agustus tahun 1945, beberapa bulan setelah Kiai Mahfudz wafat, KH Hasyim Asy’ari menangis tersedu-sedu mengingat betapa pedihnya siksaan Jepang kepada santrinya itu. 

“Namun ketika Indonesia merdeka KH Mahfudz Shiddiq tidak bisa merasakan manisnya kemerdekaan,” ucap KH Mustofa Bisri.

Yusuf Ali Syafruddin

Pegiat di Kajian Islam dan Kebangsaan

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button