Opini

Gipo, Langgar Peradaban

PERADABAN.ID – Sebab lidah orang Jawa teramat susah menyebutnya, Tsaqifuddin purna menjadi Sagipoddin. Diperingkas lagi, menjadi Gipo.

Di Surabaya, Jawa Timur, lebih tepatnya di kompleks Ampel, jalan Kalimas Udik, nama ini bukan sebatas alternatif untuk memberikan kemudahan bagi sambung dialek yang sukar diucapkan. Melainkan, napak tilas sejarah, bernilai agung.

Langgar Gipo, konon menjadi tenda kultural yang mempertemukan ide pemikiran para waliyullah. Bahkan cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama, Nahdlatul Wathon dan Nahdlatut Tujjar bermuara dari langgar ini.

“Langgar Gipo menjadi tempat berdiskusi para ulama saat pendirian Nahdlatul Ulama, Nahdlatul Wathon dan Nahdlatut Tujjar,” terang keturunannya, Choiri.

Baca juga:

KH Hasan Gipo kerap menggunakan langgar ini sebagai sentra persinggahan dan pertemuan penggerak NU dengan tokoh nasional seperti HOS Tjokroaminoto hingga Soekarno.  

Intensitas pertemuan itu, baik internal NU maupun dengan tokoh nasional, kian memperkuat bahwa Langgar Gipo dan KH Hasan Gipo memainkan peranan penting dalam tilas peradaban NU, Indonesia bahkan mungkin juga dalam kancah internasional.

Sebagai keturunan saudagar, dirinya berperan dalam Komite Hijaz yang berangkat ke Mekah untuk melakukan diplomasi dengan kerajaan di Saudi. Gelontoran sumbangan yang dikeluarkan ternilai besar.

Tidak terhenti di situ, KH Hasan Gipo juga dikenal sebagai tokoh berpendidikan modern karena mengenyam pendidikan Belanda.

Keunggulan inilah yang kemudian, tidak membuat KH Hasyim Asy’ari ragu menerima usulan agar KH Hasan Gipo disulam sebagai Ketua Tanfidziyah Hoofdbestuur NU Pertama dalam rapat yang dipimpin Kiai Wahab.

Diakui atau tidak, nama KH Hasan Gipo samar terdengar. Namanya muncul belakangan di tengah riuh keinginan sejumlah pihak agar Laggar Gipo dijadikan cagar budaya. Atau, nama KH Hasan Gipo ingin didaulat menjadi tokoh pahlawan. Lebih-lebih saat ditemukan jejak peristirahatan terakhir beliau di Kompleks Pemakaman Sunan Ampel.

Kesemua ini, kian komprehensif saat ide konstruksi keorganisasian NU akan dikembalikan pada awal mula NU didirikan; jam’iyyah diniyyah ijtimaa’iyyah. Artinya, ada satu narasi besar yang dibangun NU ke depan tetapi terhubung dengan warisan nilai pendahulunya.

“Mengembalikan keseimbangan antara kepedulian terhadap masalah-masalah keagamaan dan kepedulian terhadap masalah-masalah Kemasyarakatan,” kata Gus Yahya.

Baca juga:

Bahwa memasuki usia 1 abad Nahdlatul Ulama, barangkali sudah banyak perubahan konteks yang mengharuskan rekonstruksi gerakan dan reaktualisasi nilai NU.

Tetapi, meninggalkan yang lama nan baik justeru akan menghilangkan watak peradabannya. Watak yang sudah melekat dan diaktualisasikan oleh para pendiri, termasuk oleh KH Hasan Gipo, bahwa NU didirikan untuk terlibat aktif dalam nomenklatur peradaban dunia.

Sebab merawatnya sebagai kontruksi, adalah seni merawat khidmah kemanusiaan.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button