Requiem Sahabat Riyanto, Sang Gigantik Kemanusiaan

PERADABAN.ID – Kedua mata Katinem seperti enggan diajak beranjak dari memandang Ka’bah yang terpaku di dinding rumah ketika menemani Anto—sapaan akrab Riyanto—menyantap makan siangnya sebelum ia dikejutkan dengan pernyataan Anto yang sulit ia cerna;
“Bu, aku ingin jadi tentara, mengabdi pada negara,” kata Anto, bercita-cita.
Anto mengatakan itu sepulang kerja menjadi kuli timbang di koperasi kecil dekat rumahnya. Katinem yang masih termangu di hadapan Ka’bah berusaha memahami isi hati anak pertamanya itu dalam menggantungkan cita-cita mulianya;
“Mengapa tentara, nak Nto?” tanya Katinem.
“Jika gugur di medan perang, kematianku dinilai syahid karena membela bangsa dan negara,” tegas Riyanto.
Mungkin anda juga suka
Ibunya tidak semata-mata menilai pernyataan itu sebagai igauan belaka menimbang Anto yang memiliki watak dan tanggung jawab yang baik dalam melindungi kedua orang tua serta adik-adiknya. Katinem, mengamini niat baik anak kesayangannya itu dengan menatap Ka’bah dalam-dalam.
“Kalau mati syahid, nanti banyak orang yang mendoakan,” lanjut Riyanto sembari menandaskan hidangan lezat buatan ibunya tersebut.
Riyanto memang dijemput maut dengan cepat dan mudah di usia 25. Hanya dengan memeluk tas berisikan bom dan mengizinkan bom itu meledak di tubuhnya, terburai beserta nyawanya. Seperti permintaannya: “mengabdi pada negara”.
“Dia minta izin ke saya katanya mau tugas jaga di gereja. Seperti biasa memang dia kan Banser, jadi tugasnya jaga keamanan. Tapi ternyata itu kali terakhir Anto minta izin kepada saya,” kenang Katinem.
23 Desember 2000. Malam sebelum kejadian itu, Anto tidak bisa tidur sampai subuh. Dia sempat berbincang dengan salah satu adiknya dan memberikan wejangan agar nanti saat besar berbakti dan merawat kedua orang tua; Katinem dan Sukarmin.
Mungkin anda juga suka
Ketika mencoba menaruh nama Riyanto di mesin pencarian, bulu romaku berdiri, merinding. Muncul banyak sekali informasi yang membawa ingatan kecil ini pada sumbangsih dari seorang kader Banser yang memiliki kesabaran revolusioner dengan keyakinan dalam bertindak tanpa bersuara.
Zaman ini memang layak memberinya hormat, sebuah standing ovation yang tulus untuk sebuah “keyakinan yang dipercayai dan kemudian ia perjuangkan”, sekalipun ia mengerti betapa tak terpermanainya hambatan dan kesukaran yang kelak bangsa ini hadapi.
Begitu romantik dan adiluhung perjuangan Riyanto, karenanya ia layak disebut sebagai prajurit yang berpikir dalam hitungan abad, bukan warsa, apalagi bulan. Gus Dur mengakui patriotisme Riyanto dengan menyebutnya sebagai contoh nyata umat beragama yang kaya akan nilai kemanusiaan.
24 Desember 2000. Kartini tak kuasa menahan jerit pengabdian seorang prajurit yang mengizinkan tubuhnya menjadi tempat bernaung nilai-nilai persaudaraan kemanusiaan sehingga membuat setidaknya papan reklame dan atap studio Kartini rusak.
Orang boleh tak sepakat dengan ini. Tapi, bagi kami, jika orang yang meyakini Riyanto sebagai patok sejarah kebhinnekaan jumlahnya sangat banyak, bahkan terus-menerus bertambah.
Mungkin anda juga suka
Riyanto adalah kader Banser yang ingin menunjukkan pada kita salah satu teknik menghancurkan swak-wasangka “perpecahan agama” di Indonesia. Tetapi jauh di atas semua itu, Riyanto menunjukkan bahwa agama bukanlah “seni mencapai tujuan” tetapi lebih merupakan “seni memertahankan prinsip” (art of principle).
Riyanto adalah raksasa kemanusiaan yang mengizinkan bom meledak di tubuhnya, terburai beserta nyawanya. Riyanto masih berjalan di bumi, ia menetap di lubuk terdalam umat beragama yang meyakininya sebagai patok sejarah kebhinnekaan, ia Banser yang dianugerahi pengorbanan luar biasa untuk bangsa Indonesia dan kemanusiaan pada umumnya.
Istirahatlah dengan tenang Sahabat Riyanto.
2 Comments