Opini

Dialog Antara Pedang dengan Batang Leher (Bag. II)

PERADABAN.ID – Melalui tesis Kanafani, dialog antara Israel dengan Palestina hanyalah seonggok utopia perdamaian belaka.

Tapi dalam memperjuangkan kesetaraan hak sesama manusia dan hak sebagai negara, Palestina memiliki sekian juta fakta untuk memberi pelajaran kepada Israel.

Kedudukan Kanafani dalam sastra Palestina cukup penting. sampai-sampai seorang kritikus mengatakan, bahwa seandainya Palestina tidak melahirkan penulis-penulis lain selain Kanafani, cukuplah hal itu untuk membuktikan tingkat budaya bangsa tersebut.

Pada titik tertentu, sepotong wawancara itu memberi pelajaran bahwa keteguhan dalam prinsip mempertahankan kedaulatan negara adalah perjuangan dalam mempertahankan apa yang kita miliki.

“Konflik ini..” ketika Richard Carleton hendak memulai pertanyaan tentang perjuangan rakyat Palestina.

Kanafani sontak membantah jurnalis yang baru saja mangap itu, keberatan dengan penggunaan kata Konflik. “Ini bukan konflik! Ini adalah gerakan pembebasan. Perjuangan meraih keadilan!”

Palestina melawan, tapi Israel bertindak beringas, jauh dari ambang batas. Perjuangan itu, dalam bahasa modern disebut perjuangan kebangsaan, nasionalisme.

Dalam perdebatan teoritikus, makna nasionalisme disangkal oleh Ben Anderson. Ia menggaris bawahi makna kebangsaan yang hanya diartikan sebagai kepunyaan bersama dan merupakan hak milik bersama.

Mungkin anda juga suka

Anderson justru menyifati bangsa dan lalu nasionalisme sebagai aktivisme dalam memperjuangkan dan mempertahankan suatu yang mereka yakini kebenarannya.

Bangsa merupakan sebuah komunitas polits dan dibayangkan terbatas secara inheren dan memiliki kedaulatan. Mustahil bagi individu anggotanya untuk benar-benar pernah berinteraksi.

Terbatas dalam arti hanya orang-orang tertentu yang memiliki syarat inheren adalah bagian dari bangsa. Berdaulat berarti bangsa-bangsa ini menganggap dirinya memiliki wilayahnya yang mandiri.

Bahasa bisa sangat berpihak dan kita kerap terperdaya oleh permainan semantik kata-kata.

Peristiwa yang terjadi di Masjid al-Aqsa, kawasan Sheikh Jarrah, dan wilayah di Palestina ini kerap kali dikutip oleh media hanya dengan istilah “bentrokan sipil” “pengusiran” atau “kerusuhan” semata.

Kata bentrok atau rusuh mungkin pas untuk kerusuhan suporter bola atau penonton dangdutan yang ricuh. Namun tidak untuk yang terjadi di Sheikh Jarrah, Masjidil Aqsha dan wilayah lain di Palestina. Dimana lemparan batu warga sipil dibalas dengan peluru bedil.

Kita selama ini seolah mengerti bahwa Palestina sedang mengalami konflik. Tapi percayalah, kata konflik melibatkan dua pihak yang setara. Sementara yang terjadi sebenarnya adalah penjajahan, perampasan hak dan pengerahan kekuatan militer secara besar-besaran untuk pembantaian warga sipil yang tidak berdaya. Israel sedang memamerkan kolonialisme dalam bentuk paling mutakhir di depan mata dunia.

Mungkin anda juga suka

Saya, dan kalian, mungkin tidak bisa berbuat banyak menyikapi framing media tentang tragedi Palestina. Selain berdoa dan pasang tagar, setidaknya kita bisa berbagi kesadaran bahwa yang terjadi bukan semata kerusuhan.

Alih-alih konflik dan kerusuhan, kita bisa mulai membiasakan diri untuk menyebut apa yang dilakukan Israel terhadap Palestina sebagai penjajahan, kejahatan kemanusiaan dan pembunuhan yang keji.

Kondisi ini menganggu cangkang politik kebangsaan Nahdlatul Ulama dalam misi perdamaian dunia. Sebagai kekuatan politik, Islam yang dianut oleh NU bersinggungan dengan nilai-nilai perdamaian antara sesame manusia.

Maka, tidak heran, Gus Dur, Gus Mus dan lalu Gus Yahya berkeharusan untuk menunaikan hajat NU sebagai situs global yang memberi rasa aman sekaligus dalam mengakhiri derita perbudakan dan penjajahan. Tapi dengan apa mereka melawan?

Pembahasan mengenai corak perlawanan itu akan dibahas dalam tulisan selanjutnya. Semoga!

Yusuf Ali Syafruddin

Pegiat di Kajian Islam dan Kebangsaan

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button