Opini

Ansor dan Tertib Keberagaman

PERADABAN.ID – Organisasi kepemudaan NU GP Ansor selalu ketiban naas. Senja bulan Februari, Ansor dituding menolak bahkan membubarkan pengajian Syafiq Riza Basalamah yang berlangsung di Surabaya. Tebing sosial media masih menghembuskan narasi-narasi sepihak terhadap Ansor.

Narasi ini menyelipkan satu kejadian penting yang muncul dan disepakati antara Ansor dan penyelenggara. Buah pengingkaran yang dilakukan, termasuk adanya persekusi terhadap Ansor kala menagih kesepakatan, luput dari sorotan.

Ketegangan antara NU dan kelompok salafi Wahabi sebenarnya bukan hal yang baru. Bahkan, dalam sekuel sejarah, keberadaan NU sebagai organisasi salah satunya dilatari oleh gerakan transnasional yang ingin menyempitkan ekpresi keberagaman melalui mazhab tunggal – Komite Hijaz.

Ekspresi keberagaman NU yang terimplementasi dalam pola pikir dan perilaku keseharian memang lahir dari eksistensi sistem sosial kemasyarakatan yang lebih dulu eksis. Dia adalah “saripati” dari sistem-sistem kemasyarakatan kerajaan dan wali songo.

Baca juga:

Maka dalam perjalanannya, karakter keberagamaan NU selalu tampil dalam ekspresi yang melanggengkan nilai agama dan budaya. Akulturasi ini tertuang dalam ragam ritual agama-sosial seperti tahlil, ziarah dan seterusnya.

Identitas karakter ini pulalah, yang menjadi objek dari kelompok-kelompok eksklusif, untuk selalu disanggah dan dihujat dengan tuduhan kafir, tidak sesuai anjuran Kanjeng Nabi, dan sesat. Kelompok ini, kian subur bak jamur menunggangi kemajuan teknologi.

Mereka menyuplai penda’i dengan narasi-narasi yang mudah diterima dan seolah mencirikan Islam. Hijrah, bahkan menggaet elit selebriti sebagai penggalang narasi. Mereka membangun citra Islami dengan mengawinkan nilai ideologis keagamaan dengan ketenaran.

Baca juga:

Dalam sirkulasi struktural, memang yang harus hadir adalah negara melalui tangan aparatnya. Tetapi, dalam kasus Surabaya dan peristiwa-peristiwa lainnya yang serupa, kenapa Ansor harus juga ikut turun?

Setelah reformasi bergulir, sistem politik kita tidak lagi memperlihatkan wajah vertikal, kebijakan dipegang oleh pusat. Desentralisasi itu tidak hanya membuat otonomi daerah, tetapi juga memperluas kebebasan berekspresi, termasuk dalam ekspresi keagamaan.

Atas nama kebebasan itu, kita tahu kelompok-keolompok kemasyarakatan dan keagamaan muncul dengan ragam ideologi. Efek perangkulan terhadap kelompok Islam “kanan” di akhir masa jabatan orde baru, digadang menjadi salah satu faktor kuatnya kelompok Islam ini.

Artinya bahwa, pertarungan ideologi keagamaan, bukan lagi terpusat dalam satu bidak, melainkan meluber secara horizontal. Silang pertarungan antar kelompok masyarakat, dengan demikian menjadi tidak terhindarkan. Mulai dari yang bersifat adu gagasan sampai dengan fisik.

Kerja sosial Ansor mulanya dicemooh saat menjaga gereja. Sampai-sampai, ada yang merelakan nyawa memeluk bom mengamankan keberagaman. Meskipun secara habitat, Ansor tidak hanya menjaga pengajian, akan tetapi melakukan pengawalan dan keamanan.

Selain dari pada menjaga marwah keislaman yang Rahmah dan inklusif itulah, Ansor tegas dengan segala bentuk penggalangan narasi radikalisme, merongrong identitas keberagaman, apalagi yang mempunyai kehendak mengganti sistem negara. Termasuk bagi mereka yang memanfaatkan pengajian untuk melebarkan narasi tersebut.

Apa yang dilakukan sahabat-sahabat Ansor Banser di Surabaya, tidak lebih dari upaya menjaga tertib keberagaman. Upaya untuk menguliti kedok pengajian yang isinya, justeru jauh dari nilai-nilai Islam dan keindonesiaan.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button