Opini

Mendedah Cinta Gus Yaqut untuk Indonesia

PERADABAN.ID – Apabila bersandar pada konstruksi sejarah KH Yahya Cholil Staquf, Nahdlatul Ulama (NU) dikatakan sebagai wasilah NKRI yang keberadaannya tidak bisa diasingkan dari percaturan peradaban dunia.

Dalam Perjuangan Besar NahdlatuL Ulama (2020), Gus Yahya menegaskan bahwa di dalam konteks perubahan peradaban, wasilah bagi NU adalah negara, karena kita berhadapan dengan tata dunia yang dinamikanya ditentukan oleh pergaulan antarnegara. Di dalam konteks ini, makna NKRI harga mati adalah wasilah, karena tidak ada cara lain untuk membangun peradaban dunia yang lebih mulia di masa depan selain dengan wasilah negara.

Konstruksi yang demikian dapat dilacak dari pergerakan para kiai dan ulama NU sejak sebelum sampai pada setelah kemerdekaan Republik Indonesia. Konsistensi sikap menolak penjajahan, kalkulasi pemikiran dan kepeloporan, sampai pada akhirnya menerima Pancasila (tanpa 7 kata) merupakan bukti kelindan NU dan negara.

Sementara dalam percakapan dunia, NU tidak hanya terlibat dalam Komite Hijaz, tetapi para pendahulu sejak sebelum Indonesia menjadi negara dan berbentuk ‘Nusantara’ sudah aktif menjejakkan kakinya dengan segala macam bentuk pergulatannya. Setelah merdeka, sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945, kemerdekaan tidak terbatas pada satu bangsa Indonesia, akan tetapi juga negara-negara di dunia, terhembus dari nafas Nahdlatul Ulama.

Artinya bahwa, keberadaan NU dan kelindannya dengan negara dan dunia adalah entitas satu tarikan nafas. Tarikan nafas yang menghembuskan sekaligus untuk mencapai tujuan, meminjam istilah trilogi ukhuwah KH Achmad Siddiq, persaudaraan umat Islam (ukhuwah Islamiyah), persaudaraan sesama warga negara (ukhuwah wathaniyah) dan persaudaran sesama manusia (ukhuwah insaniyah).

Kontruksi Pemikiran

Arnold J Toynbee (1889-1975) mengatakan bahwa sejarah adalah peristiwa yang dijadikan pembelajaran masa depan. Sejarah dengan demikian, menjadi cerminan dari apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Melalui nilai, dan agen penerusnya.

Maka dalam beberapa hal – bahkan hampir semunya – tindakan para penerus di kalangan NU akan menyandarkan tindakannya pada warisan masa lalu, untuk dikontekstualisasikan di masa mutakhir (almuhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah).

Termasuk juga bagi Gus Yaqut. Sejak menjadi Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor hingga Menteri Agama RI, konsistesi sikap dan pemikiran terhadap Indonesia dan perdamainnya, termasuk bagi dunia, selalu pantang. Di hadapan kelompok intoleran dan radikal, tegas pasang badan. Kepada mereka yang mencoba merongrong NKRI, tegar melawannya.

Sikapnya, menggelinding di tepi telinga dan mata kader Ansor – Banser kala itu, tepatnya di tahun 2018. Agar, ucapnya dalam Apel Banser Kemerdekaan, tidak patah semangat menjaga Indonesia, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Cita-cita kita (adalah) untuk dapat mempersatukan perbedaan-perbedaan yang ada di negeri ini (hal. 325).

Mengenai kecintaannya terhadap perbedaan, dia bahkan pernah mempublikasi rekaman doa dari beragam agama. “Saya bagikan rangkaian doa-doa dari semua agama di Indonesia sampai 17 Agustus besok (2021).” Cuitan sederhana ini yang kemudian membangkitkan rasa kerukunan, saling menghargai, dan mendorong hubungan baik antarsesama umat beragama. Termasuk di saat yang bersamaan, menggoreng wajan kelompok ekslusif dan membentangkan perlawanan dan cibiran.

Gus Yaqut tidak ringkih, malu-malu, atau takut-takut saat mengucapkan selamat merayakan hari besar agama-agama tertentu. Ia pun mengucapkan dengan tulus. Memang risikonya adalah “dikafir-kafirkan” oleh kelompok garis keras. Beruntung Gus Yaqut kukuh dengan pendirinnya (hal. 422).

Artinya, buah pikir dan implementasi tindakan Gus Yaqut untuk selalu mencintai Indonesia, baik sebagai kader, Pimpinan GP Ansor termasuk Menteri Agama RI, terpapar dari nilai-nilai sejarah yang koheren, NU dan Indonesia. Nilai keduanya tersemat, dan tidak membuat latah apalagi ragu untuk berdiri di belakang Indonesia, terhadap siapa saja yang ingin merongrongnya.

Inklusi Kesaksian

Membaca buku setebal 485 halaman ini, tidak membuat apalagi mendorong, sebuah pengkultusan terhadap diri Gus Yaqut. Biografi ini semacam ruang inklusi yang sangat terbuka untuk segala macam pandangan dari para saksi yang memberikan pendapat tentangnya.

Pembaca dibawa ke dalam rumah bernama Yaqut Cholil Qoumas, dengan segala macam isi pernik kelebihan-kekurangannya. Tidak semua bingkai pigura di dalam ruangannya berisi keanggunan Gus Yaqut, akan tetapi juga berisi yang lain.

‘Yang lain’ inilah yang menurut penulis bisa memperkaya pandangan pembaca dalam melihat Gus Yaqut hari ini. Ketiban kritik, saran dari sanak terdekatnya, atau mungkin posisi Gus Yaqut yang tidak selalu dalam panggung podium kemenangan, mempertebal konstruksi kehidupan Gus Yaqut, membentuk watak dan karakter pemikirannya sekaligus kepemimpinnya.

Membaca buku Gus Yaqut Jangan Pernah Lelah Mencintai Indonesia ini, ada hentakan-hentakan kecil yang membuat getir, tersentak menghibur, atau bahkan mengepalkan tangan. Buku ini, dengan gumpalan data dari kesaksian teman dan sanak keluarganya, punya pesan otoritatif akan diri Gus Yaqut, dengan tidak cara mendikte narasi pembaca terhadap Gus Yaqut, terlebih untuk mengkultuskan dengan segala capaian dan teladan kepemimpinannya.

Buku ini, sekali lagi, diramu dengan sangat majemuk. Menghadirkan realitas dialektis yang memungkinkan adanya kritik atas isinya, bahkan ketidaksetujuannya.

Judul                   : Gus Yaqut Jangan Pernah Lelah Mencintai Indonesia
Penulis                : Tim Ansor Channel
Penerbit             : RAYYANA Komunikasindo, Jakarta
Cetak                 : Mei, 2023
ISBN                   : 978 – 623 – 5378 – 22 – 0

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button