Opini

1970 di Brasil, tentang Ibu

PERADABAN.ID – Seorang ibu bersimpuh di depan gereja. Kedatangannya, tidak untuk melakukan pengakuan dosa. Dia hanya ingin meminta, agar sang pendeta mengumumkan kepada jamaatnya, bahwa anak satu-satunya, hilang.

Harapannya setelah dia bicara pada sang pendeta, jamaatnya tergerak untuk memasang foto sang anak, apabila berpapasan disapanya. Hanya itu yang dia rasakan dan inginkan. Keheningan yang diratapinya, selangkah lagi adalah keterpenuhan akan derita yang dialaminya.

Si ibu tidak mengerti, bahwa sang anak, hingga akhirnya mungkin dibebaskan, telah dirundung beberapa pukulan, ditudung subversif melakukan kejahatan, atas perbuatan yang tidak diketahuinya. Si anak hanyalah seorang pegawai Bank yang polos.

Baca juga:

Dan benar si anak, tidak melakukan kesalahan apapun. Tidak melakukan atas apa yang dituduhkan: komunis atau pembelot negara. Jelang dibebaskannya – saat anak buah bos sipir mendampinginya dalam mobil – ia dipaksa untuk melupakan segalanya.

1970, novel itu bercerita tentang kemenangan ketiga Brasil menjuarai pialan dunia. Dan di balik itu, tidak ada yang tahu sempilan kisah tak wajar. Kemeriahan-kemeriahan di kafetaria atas kemenangan Brasil, tersempil kisah pilu. Kebisingan yang menutupi remuknya gigi dan hancurnya gusi.

Kesemuanya seperti menceritakan sel-sel yang rapuh. Ideologi, politik, aparat, olahraga dan seterusnya, tidak mampu mendudukkan satu kekhawatiran yang menyayat. Si ibu yang kehilangan segalanya: akses, lalu anaknya.

Klise tapi selalu menarik, adalah bagaimana upaya si ibu, menangis dan berdoa sama banyaknya. Demikianlah penderitaan yang terlanjur sempurna. Dan itu diakibatkan oleh kehilangan akses dan ketidakmampuan.

Baca juga: Berita dan Informasi Gus Yahya Terbaru

Saya ingin menarik satu guratan kisah itu ke dalam kehidupan keluarga. Bahwa nyaris terlupakan upaya-upaya keluarga, di tengah deru makro yang general. Hal kecil, mikro, unit yang paling kecil itu menjelaskan banyak hal, kendati tersempil.

Betapapun gegabahnya riuh sosial kita, sebenarnya adalah keluarga yang paling utuh menceritakan banyak hal. Dia menceritakan keseharian yang asli. Penderitaan, kebahagiaan, lalu kehilangan yang berseri, berlipat-lipat.

Keluarga seperti lonceng, yang di dalamnya harus terus hidup dan berbunyi. Di hatinya ada musik, yang di dalamnya membuat orang bernyanyi.

Lalu bagaimana membuat keluarga sebagai aktor utama dalam orkestrasi sosial yang begitu komplit dan rumit? Pemberdayaan!

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button