Opini

Tensi Relationship PBNU-PKB

PERADABAN.ID – Belakangan ini, problematika yang melibatkan hubungan antara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), dua kapal besar yang memiliki akar kuat di masyarakat Indonesia menjadi sorotan publik.

Konflik yang mencuat antara PKB di bawah pimpinan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan PBNU yang diketuai oleh KH Yahya Cholil Staquf menimbulkan kekhawatiran akan semakin tebalnya dinding polarisasi di kalangan masyarakat, khususnya warga Nahdliyin, yang selama ini dikenal sebagai basis massa keduanya.

Konflik dua kapal besar itu bukanlah isu baru. Hal ini tampak seperti hidangan lama yang disajikan kembali dengan bumbu dan tujuan baru.

Yang memperuncing situasi belakangan ini adalah langkah PKB yang menyuarakan penggunaan Hak Angket DPR RI untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) guna menginvestigasi penyelenggaraan Haji 2024.

Baca Juga

Respon dari KH Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum PBNU sekaligus kakak dari Menteri Agama Gus Yaqut Cholil Qoumas, curiga apabila langkah PKB ini mungkin didasari oleh dendam pribadi antara Cak Imin dan Gus Yaqut, yang notabene ketiganya telah saling mengenal sejak lama.

Mengusik Marwah NU

Terlepas dari motifnya, langkah Partai Kebangkitan Bangsa tampaknya lebih seperti upaya untuk menjaga eksistensi partai di tengah dinamika politik yang semakin panas. Setelah Pansus DPR RI terbentuk, PKB tampaknya berhasil mencapai salah satu tujuan awalnya, meskipun konflik masih terus berlanjut.

Acapkali, PKB Cak Imin seperti sedang mencari bola-bola panas untuk dioper dan dimainkan agar eksistensi Partai berkantor di Raden Saleh itu tetap terdengar. Entah, ada hajat tujuan apa di balik terus-terusan melempar konflik yang dipertontonkan khalayak masyarakat.

Baca Juga NU Apa Adanya, NU Sak Lawase, Tidak Ada NU “Sak Karepmu”

Ibarat episode yang panjang, konflik ini justru memunculkan efek balas-balasan.

Sebagai respons terhadap manuver tersebut, PBNU kemudian membentuk Panitia Lima untuk menginvestigasi internal PKB, menilai apakah partai ini masih sejalan dengan cita-cita pendirinya.

Tak lama setelah itu, muncul dugaan kriminalisasi terhadap Lukman Edy, mantan Sekjen PKB, yang melibatkan Cak Imin. Kasus ini semakin memanas dengan dukungan sekitar 90 kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum PBNU dan LBH Ansor NU kepada Lukman Edy.

Krisis Identitas PKB

Di tengah-tengah konflik tersebut, desas-desus Muktamar Luar Biasa (MLB) PBNU sepertinya menjadi bola panas yang juga dimainkan PKB.

Upaya oknum PKB menggulirkan isu MLB PBNU patut dipertanyakan dan dikritisi. Langkah ini tidak hanya mengabaikan sejarah PBNU yang belum pernah mengalami MLB, tapi juga mencerminkan sikap tidak hormat terhadap tradisi dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh Nahdlatul Ulama.

Baca Juga

Manuver politik ini semakin mempertegas tuduhan bahwa PKB telah menjauh dari akar rumputnya. Sebagaimana diungkapkan Lukman Edy, peran Dewan Syuro yang notabene mewakili suara ulama, telah dipasung. Hal ini menunjukkan degradasi penghargaan PKB terhadap marwah ulama, yang pada gilirannya berarti merendahkan marwah Nahdlatul Ulama itu sendiri.

Ironisnya, partai yang mengklaim diri sebagai penjaga nilai-nilai NU justru terkesan mengkhianati prinsip-prinsip dasarnya. Tindakan ini bisa dipandang sebagai bentuk arogansi politik yang mengesampingkan kearifan dan kebijaksanaan para ulama yang selama ini menjadi panutan warga NU.

Jika dibiarkan, langkah PKB ini bisa menjadi preseden buruk dalam hubungan antara politik praktis dan organisasi keagamaan. Alih-alih menjembatani aspirasi warga NU di kancah politik, PKB malah berpotensi menciptakan perpecahan dan mereduksi peran penting ulama dalam membimbing umat.

Isu MLB PBNU ini bisa menjadi bumerang yang berbahaya bagi PKB. Selain berpotensi mengikis dukungan dari basis tradisionalnya, hal ini juga bisa memunculkan resistensi kuat dari kalangan NU yang masih memegang teguh nilai-nilai dan tradisi organisasi. PKB mungkin sedang menggali kuburannya sendiri dengan mencoba mengintervensi urusan internal PBNU demi kepentingan politik jangka pendek.

Oleh: Lintang Ayu Taufiqoh, Aktivis dan Mahasiswa UIN Jakarta

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button