Opini

Sumbangsih dari Pinggiran

PERADABAN.ID – Saat sebagian masyarakat Muslim merayakan atribut keislaman bercorak Timur Tengah, dari ideologi hingga praktek kebudayaan-sosial, bisa dikatakan kelompok dan komunitas Muslim moderat, seperti NU-lah, yang hanya menanggapi biasa-biasa saja – kadang juga antisipatif. Ia seperti percaya diri dengan model keislaman yang tumbuh di Nusantara ini.

Dalam konstruksi politik kenegaraan, NU masih dan tidak mau melepas langgam Pancasila sebagai irama laku politik. Seberapa mengkilatnya kampanye tentang sistem khilafah . Dalam konstruksi kebudayaan, NU tetap menjalankan ritual mengunjungi makam untuk melafalkan doa, kendati cacian dan penghakiman datang tak bertubi. NU masih juga mengucapkan penghormatan kepada perayaan-perayaan agung agama lain, kendati di sebagian yang lainnya sudah tidak memperbolehkan dan mengharamkan.

Kenapa demikian, kenapa tidak ada keinginan untuk bergabung merayakan hal itu? Kenapa NU tidak tergesa-gesa mencabut pengakuannya terhadap Pancasila? Kenapa kiai-kiai kita justeru mendorong agar masyarakat melangitkan doa untuk mereka, para saudara dan kiai yang sudah tiada?

Selain dari kepiawaian para pemimpin dan kiai-kiau NU melihat konteks dan maksud di belakangnya, ada sejarah panjang sebab perlu dipertahankan, dan penulis rasa hal itu juga menjadi salah satu alasan fundamental.

Baca Juga Berita dan Informasi Gus Yahya Terbaru

Dalam aras kejayaan kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah, sampai dengan keruntuhannya, Nusantara tidak pernah menjadi bagian dari kesemuanya. Kendati, sudah banyak masyarakat Nusantara mulai melirik dan mengimani Islam dan Islam sudah mulai banyak yang menganutnya.

Justeru sebaliknya, kebangkitan-kebangkitan Islam di Nusantara mulai terlihat saat menjelang keruntuhan Islam di Timur Tengah itu terkabar luas. Dan Eropa beserta Amerika, menampakkan wajah dominatifnya dalam percaturan global.

Kejayaan Islam Utsmani saat itu, tidak menjadi corak sosial, politik dan budaya Nusantara. Ia juga tidak menjadi bagian dari kejayaan-kejayaan itu. Nusantara adalah pinggiran waktu itu, yang kemudian menangkap perubahan mendasar sebagai peluang untuk melakukan hal-hal perbaikan. Masa-masa keluruhan Islam itu, diilustrasikan sebagai musim gugur peradaban – meminjam bahasanya Gus Yahya.

Para kiai berinisiatif dan menggulirkan gerak kaki mengkonsolidasi dan memperkenalkan satu wajah baru perubahan, baik Islam maupun tata politik dunia. Dan NU berada dalam gerak itu. NU melalui kiai dan ulamanya, sedang melaksanakan rangkaian perubahan.

Baca Juga Adaptasi (Peradaban) Digital

Para kiai yang dulunya hanya menerima tamu atau menghadiri undangan, mengajar santrinya sebagai agendanya, mulai beranjak bepergian untuk menemui tokoh-tokoh dan masyarakat, mengonsolidasikan gagasan dan cita-cita peradaban. Menciptakan surat kabar untuk mempercepat dan memperluas informasi tentang cita-cita perubahan.

Bahkan Gus Yahya dengan sangat tegas mengatakan bahwa agenda absolut NU adalah membangun peradaban. Ini bukan arogansi kelompok dan kepongahan primordial, sebab NU tidak mengangankan penaklukan dan dominasi.

Menurutnya, NU berkehendak untuk menyumbang. Dan itu dilakukan dengan kesadaran penuh bahwa di luar sana ada aktor-aktor yang sama mulianya dan sama haknya untuk ikut menentukan masa depan umat manusia, baik dari dalam lingkungan Islam maupun dari luarnya.

Baca Juga Abu Jahja Ch. Staqouf

Pernyataan ini menggambarkan inklusivitas yang paripurna. Tanpa penghakiman dan mengklaim kelompoknya paling benar. Peradaban yang di dalamnya orang dan masyarakatnya hidup dengan adil dan sejahtera, peradaban yang didorong oleh nilai-nilai luhur dan universal. Peradaban yang tidak bertujuan mendominasi dan mendiskriminasi kelompok lainnya yang lemah.

Inilah yang kemudian menjadi kanvas besar NU dalam kancah nasional maupun global. Deklarasi Humanitarian Islam oleh GP Ansor di Jombang yang ditindaklanjuti serta dilengkapi kerangka teologis secara valid dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama di Kota Banjar, serta Manifesto Nusantara di Yogyakarta. Lukisan yang penuh keindahan dan mewarnai tata dunia internasional sebagai salah satu wacana dan solusi dari ketimpangan dan ketidakadilan, sebagai lukisan peradaban.

Nusantara yang pinggiran dalam lipstik kejayaan Islam imperium Utsmani itu, telah menunjukkan diri sebagai bibir-bibir yang membicarakan keadilan dan hak-hak bagi yang terdiskriminasi dan lemah bagi seluruh umat dunia. Suara-suara yang pelan-pelan, membisiki dan terdengar para pemimpin dan aktor dunia. Sumbangsih dari pinggiran, untuk merangkai lokomotif perubahan; peradaban baru.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button