Opini

Sosok Gus Yahya dan Narasi Nahdlatul Ulama

“Menulislah seperti wartawan, dan berbicaralah seperti orator,”

HOS Tjokroaminoto

PERADABAN.ID – Gus Yahya, sosok yang mungkin tak lazim kita temukan. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini bisa berpidato satu jam penuh, tanpa panduan catatan sedikit pun.

Meski panjang nan lama, pidato Gus Yahya seperti rajutan yang menyambung satu persatu, sehingga selalu enak didengarkan. Terlebih, sesekali terselip beberapa guyonan khas NU.

Penulis sudah puluhan kali mendengar sambutan Gus Yahya dari channel YouTube TVNU. Salah satu yang panjang dan penuh daging, saat Gus Yahya sambutan dalam Rapat Kerja Satuan Tugas Nasional Gerakan Keluarga Maslahat Nahdlatul Ulama (GKMNU) beberapa waktu lalu.

Gus Yahya dalam kegiatan ini memberikan sambutan selama satu jam, satu menit dan enam detik. Yang mengesankan, Gus Yahya sama sekali tidak membawa catatan dalam sambutan ini.

Layaknya rajutan, sambutan ini sambung-menyambung dari sub tema ke sub tema yang lain. Begitu runtut dan sistematis apa yang disampaikan Gus Yahya terkait program GKMNU yang merupakan program andalan dan strategis di kepengurusan Gus Yahya ini.

Baca juga:

Salah satu isi sambutan itu, Gus Yahya menyebutkan bahwa program GKMNU ini adalah agenda multifaset. Artinya, setiap permasalahan yang ada di entitas terkecil sebuah bangsa yakni keluarga harus dicarikan solusinya serta dibuatkan program secara massif oleh GKMNU.

Gus Yahya menyebut GKMNU adalah sebagai agenda paradigmatik. Paradigma itu menyangkut keberadaan dan kehadiran NU di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan negara serta kemanusiaan secara universal. Program ini merupakan turunan visi besar NU di bawah kepemimpinan Gus Yahya yakni Merawat Jagat, Membangun Peradaban.

Karena visi besar inilah, menurut Gus Yahya, NU harus mempunyai ekosistem yang koheren. Secara harfiah, ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Artinya, NU hendak membangun dan menguatkan ekosistemnya dalam rangka membangun peradaban ini.

Ekosistem itu salah satunya adalah GMKNU yang menyentuh entitas terkecil. Ekosistem lain yang sudah dibangun dikepemimpinan Gus Yahya adalah dialog agama sebagai rahmah, yang sudah menghadirkan beberapa pemuka agama lintas iman dari berbagai belahan dunia.

Ekosistem itu lantas melahirkan dampak. Dampak harus didefinisikan sedemikian rupa sesuai dengan nilai-nilai dasar landasan keberadaannya. Agar keberadaan NU ini benar-benar dirasakan betul, harus ada pengaturan yang koheren agar nanti bisa diketahui ini dampaknya NU dan ini bukan dampak dari NU atau dari orang perorangan yang mengaku NU. Karena inilah, pentingnya NU dalam membangun ekosistem internal dan ekosistem eksternal. Ekosistem internal ada yang bersifat kultural dan struktural.

Sedangkan ekosistem eksternal adalah pemerintah, negara-negara sahabat, ormas-ormas lain, berbagai aktor global, kalangan pengusaha dan lain sebagainya. Ekosistem internal dan eksternal ini harus dimainkan dengan baik bagi NU dalam rangka menggapai visi utama NU yakni Merawat Jagad dan Merawat Peradaban.

Catatan ini tentu saja tidak hendak menulis apa yang disampaikan Gus Yahya dalam pidato lebih dari satu jam itu. Yang penulis ingin sampaikan, Gus Yahya sebagai pemimpin puncak organisasi kemasyarakatan terbesar di dunia, mempunyai modal kekuatan narasi yang luar biasa.

Menariknya, Gus Yahya tahu betul kelemahan dan kelebihan beliau. Karenanya, Gus Yahya meminta Alissa Wahid menuliskan apa yang dia pidatokan yang nantinya bisa menjadi dokumen. Setengah bercanda, Gus Yahya menyebut bahwa dia tidak lulus kuliah bukan karena tidak pintar, tapi karena apa yang ada dipikirannya kadang sulit terdownload dalam sebuah tulisan.

Karena banyaknya apa yang ada dalam pikirannya, Gus Yahya menyebut bahwa dia tidak biasa berpidato memakai power point. ”Slide-nya, power point-nya ada di kepala saya,” kata Gus Yahya disambut ger-geran peserta Rakor Satgas GMKNU.

Dengan berbagai hal besar yang dilakukan oleh PBNU di kepengurusan Gus Yahya, penulis berkeyakinan gaung NU akan semakin besar dengan kekuatan narasi yang dimiliki oleh Gus Yahya. Seorang podcaster dan pengusaha Indonesia Gita Wirjawan bahwa Indonesia butuh banyak narator positif untuk mengangkat negara ini sebagai negara maju.

Dalam bukunya Sapiens: A Brief History Of Humankind, Yuval Noah Harrari menekankan bahwa kekuatan narasi atau cerita, memainkan peran penting dalam keberhasilan umat manusia.

Menurut Harari, cerita-cerita atau mitos-mitos yang diciptakan oleh manusia memungkinkan mereka untuk bekerja sama dalam kelompok besar, jauh lebih besar daripada kelompok-kelompok primata lainnya yang terikat oleh hubungan sosial yang lebih langsung. Singkatnya, dengan narasi, manusia bisa meraih tujuan bersama untuk kehidupan yang lebih baik.

Dengan program besar, tindakan-tindakan strategis yang dilakukan NU, disiplin eksekusi, dan kekuatan narasi baik berupa percakapan dan tulisan yang didengungkan terus menerus, penulis yakin NU akan menjadi kekuatan besar bangsa ini. Serta kekuatan Islam di mata dunia.

Terlebih, jika dalam bernarasi, Gus Yahya yang juga mempunyai kelihaian dalam menulis, ini sebagaimana penulis lihat di Facebook dan Instagram beliau, dimanfaatkan kelihaian menulis itu untuk bernarasi, maka tujuan besar NU yakni merawat jagat dan membangun peradaban, akan segera tercapai dan NU akan tetap relevan di tengah era disrupsi ini.

Gus Yahya, secara sengaja atau tidak, secara sadar atau tidak, sudah mengamalkan pesan HOS Tjokroaminoto sebagaimana penulis singgung di awal tulisan ini yakni menulis seperti wartawan, dan berbicara seperti orator.

Tabik.

Oleh: Mahdi Khered, Wakil Ketua PW GP Ansor Jawa Timur.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button