Opini

Imajinasi

PERADABAN.ID – Dari sebagian banyak kepintaran pemimpin, adalah membangun imajinasi kolektif. Dalam imajinasi itu, dipupukkan simpul-simpul yang mengeratkan, menjadi jembatan persaudaraan, sampai kecintaan yang sama.

Nusantara dan Indonesia, atau bisa juga padanan simpul lainnya yang menyerupai, adalah imajinasi-imajinasi yang dibangun dan dimobilisasi. Nusantara menjadi imajinasi kolektif kejayaan bangsa, bahwa pernah berdiri satu komunitas masyarakat dengan sistem-sistem yang tertata rapi waktu itu, mempunyai nilai dan norma, tata ruang, dan model pemerintahan.

Indonesia menjadi imajinasi masa depan. Perbedaan-perbedaan dilem dengan imajinasi bernama Indonesia. Tatanan masyarakat bangsa dan negara yang modern, mandiri, lokus masa depan kita yang diinginkan. Kita yang berada di dalamnya, seperti terdorong – bahkan terkunci – untuk menitipkan cita-cita di pundaknya, tentang keseharian, mingguan, bulanan atau lainnya yang berkaiatan dengan keamanan, rasa nyaman, hak, kewajiban, dan semacamnya.

Baca Juga Berita dan Informasi Gus Yahya Terbaru

Saya rasa, operasionalisasi dari imajinasi bergerak demikian. Imajinasi bisa berbentuk manusia atau figur pula. Patih Gajah Mada, Soekarno, Kiai Hasyim, Mbah Wahab atau sampai dengan Gus Dur hingga Buya Syafii, masing-masing dari tokoh itu mempunyai kekuatan imajiner, yang apabila orang mengingatnya – entah dengan membaca atau mempunyai pengetahuan dan pengalaman – akan memicu imajinasi kita tentang kemerdekaan, kejayaan, Nahdlatul Ulama, Peradaban, toleransi, semisal.

Maka saat Gus Yahya membangun narasi “menghidupkan Gus Dur”, ia sebenarnya sedang membangun imajinasi, mengaktifkan imajinasi. Saat mengatakan “NU Mandat Peradaban”, ia sedang membangun imajinasi masa depan. Bahan bakarnya adalah mentalitas dan pola pikir, dan mesinnya adalah dialog forum-forum.

Mentalitas, pernah suatu ketika beliau berseloroh, sumbernya adalah masa lalu. Mungkin hemat saya, mentalitas itu bisa mencomot dari kebesaran, keterbukaan, kebernasan peristiwa-peristiwa masa lalu.

Baca Juga Cerita Rais Aam PBNU “Dimarahi” Mbah Moen dan Kiai Tolchah

Beliau menggaris bawahi adanya kehendak yang harus diubah, sebab ini bisa sangat membayakan. Ini berkaitan dengan arogansi, egois, ingin menang sendiri, yang kerap juga digunakan oleh orang-orang masa lalu. Ambillah contoh perang yang tiada berkesudahan yang menggunakan identitas tertentu.

Prakteknya, mentalitas yang demikian kerap kita saksikan di dunia sehari-sekitar kita. Mentalitas yang mendorong pada disintegrasi dan tiada hasil akhir kecuali ketegangan-ketegagan belaka.

Pola pikir menjadi penting sebab itu tentang bagaimana cara kita melihat. Kalau kita melihat agama sebagai rangking, maka yang terjadi adalah kompetisi melulu.

Dalam politik, yang demikian jamak terjadi. Agama hanya diiris sebagai kantong kapitalisasi suara saja. Manusia hanya angka-angka statistik. Mau dampaknya perpecahan, rasa curiga antar sesama, hasutan berkepanjangan, tidak jadi soal, sebab agama direndahkan hanya sebagai modal kompetisi belaka.

Baca Juga Cerita-Cerita Seputar Haji

Pun sebaliknya, ketiga agama ditempatkan dalam satu kerangka menuju perdamaian, maka hasilnya pun berbeda. Agama menjadi penghubung keterputusan rasa percaya diri, pemutus kemelut kemanusiaan, solusi perdamaian. Dan tidak sedikit orang, yang menempatkan agama di posisi yang agung ini.

Dan kita, hanya perlu untuk optimis, membangun imajinasi-imajinasi masa depan yang segar dan damai, terhubung satu sama lain tanpa perlu merasa benar dan besar sendiri, arogan dan sombong.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button