Opini

Mentalitas Uang Seribu

PERADABAN.ID – Mentalitas begitu sedemikian besar pengaruhnya terhadap cara pandang. Orang yang mempunyai mental identitas, ia akan cenderung dominan mengklaim kesempurnaan komunitasnya.

Berbeda dengan yang terbuka, biasanya ia lebih banyak dialog; apa yang diyakininya benar, didudukkan di ruang diskursus dengan prinsip-prinsip komunikatif.

Sekertas uang seribu bisa dipandangnya dari berbagai perspektif. Bahwa setiap pihak mempunyai literatur bacaan masing-masing, yang memungkinkan pendapat dari satu dan lainnya bisa sangat berbeda itu hal yang lumrah.

Baca Juga Berita dan Informasi Gus Yahya Terbaru

Tidak ada yang keliru, bahwa uang seribu itu bergambar seorang muslim. Juga tidak ada yang keliru, jika gambar di uang itu bukan orang muslim. Asalkan, pendapat itu dilegitimasi dari literatur akademis yang otoritatif dan tidak memaksakan kehendak untuk diakuinya.

Diskursus bukan adu otot, diskursus ada seni menyampaikan pendapat dengan rasional. Makanya, diskursus itu musti diimbangi dengan mentalitas yang bijak. Sehingga perbedaan-perbedaan itu bisa dirangkum dengan bungkusan dan subtansi yang indah.

Bahwa sejarah yang dipaparkan adalah benar atau justeru keliru, pembuktiannya biarlah akademisi dan sejarahwan dengan data-data akurat. Yang menjadi gejala pelik, ada pendapat yang dilegitimasi sejarah versinya sendiri, dan tidak membuka ruang dialog dengan lain. Dia seperti menutup rapat-rapat pendapat yang lain serta berbeda.

Apalagi alasan yang digunakan kerap menggunakan narasi agama. Seperti yang belakangan terjadi. Sisi ini cenderung sensitif dan terbukti, menimbulkan konfrontasi yang luar biasa, terlepas video itu sudah lama terjadi. Bukan tidak boleh menggunakan atau membawa-bawa kolom agama ke ruang publik, tapi celah-celah yang lain harus dipertimbangkan.

Baca Juga Kunjungi KKHI di Makkah, Waketum PBNU Doakan Jamaah Haji

Kita sudah berulangkali disuguhi bahwa tokoh-tokoh masa lalu beragama ini beragama itu. Nahasnya, disampaikan melalui pendapat dengan mental identitas yang memaksa dan arogan. Jadinya, agama seperti dikomodifikasi untuk menggiring opini publik, yang bertendensi mengaburkan duduk persoalan secara subtantif.

Alangkah lebih baiknya, diskusi atau dialog apapun tidak didorong oleh arogansi, apalagi menenteng agama. Bisa jadi lebih bermanfaat, uang seribu itu dikaitkan dengan kesalehan kita kepada yang lebih membutuhkan. Bukan dijadikan alat untuk menunjukkan identitas tertentu.

Bukan lagi tepat pada situasi dan konteksnya melulu berpatokan pada masa lalu yang membawa identitas, sebab meminjam bahasa Gus Yahya, referensi masa depan lebih bermanfaat untuk digunakan dalam perdebatan mengingat tatanan yang juga sedemikian rupa mengalami perubahan dan berkarakter multi-polar. Tidak ada lagi komunitas paling unggul di antara komunitas yang lainnya.

Zaman sudah bergerak sejauh itu dan tidak ada padanannya dalam dinamika sosial kita saat ini, pembaruan dan kebaikan sosial dimotori oleh egoisme masing-masing komunitas. Semuanya setara dalam berpendapat dengan kemuliaan yang dibawanya masing-masing.

Saya rasa pun, lebih baik membicarakan uang seribu itu masih menjadi kompoisisi dominan di dompet kita, atau sudah naik kelas, yakni uang berwarna merah dengan gambar Soekarno-Hatta. Setidaknya, untuk memotret tingkat kesejahteraan ekonomi kita.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button