Opini

Masih Ada Kabayan di Sunda dan di Nahdlatul Ulama

“Para kiai, meskipun tampak sibuk, sebenarnya hanya “pura-pura sibuk”, katanya,-sebuah sikap yang mengingatkan kita pada Kabayan, tokoh sufi Sunda yang terkenal dengan kebijaksaan dan kelucuannya.

PERADABAN.ID – 110 km dari gembala kota Jakarta, Kang Deny, kami biasa memanggilnya, turun dari motor dengan celana pendek, kaos oblong dan belang-belang merah di muka, “sepulang dari kebun,” katanya.

Kami hanya bisa bersitatap dan menggeleng tipis, sekelas Ketua PW Ansor Jawa Barat, PW terbesar di lingkaran Ansor se dunia dengan keragaman kader yang kompleks dan sumber daya yang melimpah, tampi dengan sangat sederhana.

Tak susah melacak sanad gaya pakaian itu, di ruang tamu rumahnya, Gus Dur mampang besar sekali, bersanding dengan kaligrafi Nahdlatul Ulama dan potret Syaikh Abdul Qadir al Jailani.

Ya, gaya berpakaiannya mengingatkanku kala Gus Dur keluar dari istana, menyapa jutaaan warga Indonesia dan sebelum akhirnya Presiden Republik Indonesia tak lagi tersemat sebagai atribusi namanya.

Baca Juga Mengapa GP Ansor Perlu Mempererat Hubungan dengan Vatikan?

“Gus Dur, sosok yang paling bisa mentrigger wacana di Indonesia,” katanya. Demokratisasi (demokrasi bebas aktif), Pribumisasi Islam, dan Pluralisme jadi wacana yang konsisten disuarakan Gus Dur. Meski di belakang itu, kata Kang Deny, Gus Dur menyimpan seribu jurus untuk kesejahteraan kader-kader Nahdlatul Ulama, termasuk membangun ekosistem intelektual di tubuh NU.

Gus Dur, bagi Kang Deny, adalah maestro. “Sewaktu saya diajak nongkrong dengan kelompok HMI dan Muhammadiyah, mereka enak saja ngejek Gus Dur, seperti makan krupuk, kriuk-kriuk,” geram Kang Deny.

Pengalaman itu yang memantik jiwanya untuk bergelut dalam pusaran, dan membuktikan bahwa Gus Dur adalah sosok yang paling absah memegang tampuk tertinggi di negara ini.

“Sampai kubela mati-matian di hadapan TNI bersama Gus Ma’shum Jauhari dan para kader setia Gus Dur,” kenang Kang Deny.

Baca Juga Moderasi Beragama dalam Memahami Ruang Sakral

Kang Deny dikenal sebagai ‘kader yang sudah matang secara pribadi’, seperti yang sering diungkapkan oleh para senior PP GP Ansor. Untuk menunjang kapasitas intelektualnya, belakangan ini Kang Deny menginisiasi Ansor Sugeh; ruang diskusi rutin Kitab Al-Kasb karya Asy-Syaibani yang, bertujuan untuk mengkaji dan memahami perspektif ekonomi Nabi Muhammad SAW secara lebih mendalam.

Sejak tahun 2019, dia mendirikan SMK Ansoruna Hade Rancage dengan program keahlian: Agribisnis Tanaman yang dikelola secara canggih, tanpa sepeser pun menarik biaya SPP bagi murid-muridnya.

Sekolah ini didirikan oleh Kang Deny lantaran resah melihat masyarakat di sekitar Bojong-Wanayasa, Purwakarta yang lemah di bidang pendidikan. Keinginan untuk bersekolah tipis in line dengan tipisnya keinginan untuk mengembangkan diri.

Alumni Universitas Padjajaran, melalui sekolah tersebut, lantas membangun ekosistem inkubasi pertanian dari hulu-hilir. “Kurikulum tetap mengikuti pemerintah, tapi kami memiliki produk kecakapan khusus, yaitu mengantar murid mengenali komoditas hingga cara menjual,” ujar Kang Deny.

Baca Juga Sosok Gus Yahya dan Narasi Nahdlatul Ulama

Murid-murid di SMK Ansoruna itu diajak ke pasar, bertanya soal harga, kebutuhan, pemasok komoditas hingga penawaran produk. Perlu diketahui, setiap angkatan kelas dibentuk sebuah kelompok, nah di setiap kelompok itu masing-masing memiliki tugas untuk menjual komoditas pertanian berupa sayur-mayur yang mereka tanam di kebun sekolahan.

Produk sayur-mayur yang ditanam Kang Deny dan murid-muridnya beragam, mulai dari sawi, pakcoy, pepaya, labu, cabe, kalyan dan lain-lain. Kalyan merupakan komoditas unggulan yang belakangan sedang dipersiapkan dengan baik untuk mengakomodasi kebutuhan resto di perkotaan.

Belakangan, Kang Deny sedang mempersiapkan Sekolah Vokasi dan Balai Diklat di Purwakarta.

Sisi menarik yang rasanya sayang kalau tidak diulik dari Kang Deny adalah nuansa sufistik. Perihal khidmah, Kang Deny melihat sebuah paradoks yang menarik, bahwa para pengurus dan muassis NU memiliki tanggung jawab yang besar, namun mereka tetap meluangkan waktu untuk mengurus santri.

Baca Juga Sosok yang Disiapkan Oleh Sejarah

“Para kiai, meskipun tampak sibuk, sebenarnya hanya “pura-pura sibuk”, katanya,-sebuah sikap yang mengingatkan kita pada Kabayan, tokoh sufi Sunda yang terkenal dengan kebijaksaan dan kelucuannya.

Kabayan, dalam kearifannya yang jenaka, mungkin akan mengatakan bahwa kesibukan adalah topeng yang kita kenakan, sementara di baliknya tersembunyi jiwa yang tenang.

Dalam hal beransor, Kang Deny selalu mengulang-ulang bahwa “Beransor itu berkah”. Keyakinan ini tentu dipertebal dengan aktualisasi mendalam dengan tindakan. “Lakukan apa yang bisa kita lakukan, kerjakan apa yang bisa kerjakan, tidak perlu menunggu sempurna, lebih-lebih ideal,” pesannya.

Keyakinan itu terus dibuhul Kang Deny dengan mengingatkan bahwa tidak ada seorang pun yang khidmah kepada Ansor, hidupnya sengsara. Secara retoris, pertanyaan muncul dari Kang Deny, “Masak pimpinan kita keren, kita ngga bisa keren?”. Pertanyaan itu semacam pertanyaan yang mengajak kita untuk muhasabah dan menyadari potensi.

Dari persepktif yang disampaikan Kang Deny, “Si Kabayan” ini telah menawarkan paradigma baru dalam memahami tanggung jawab organisasi. Melalui pendekatan yang menyeimbangkan keseriusan tugas dengan fleksibilitas sikap, filosofi ini mengungkap potensi keberkahan di balik kesibukan. Hal ini mendorong totalitas pengabdian sambil mempertahankan kelenturan mental-spiritual dalam menghadapi tantangan.



Yusuf Ali Syafruddin

Pegiat di Kajian Islam dan Kebangsaan

Related Articles

Back to top button