Berita

Kritik Politik Identitas, Gus Yahya: Aktor yang Memperalat Agama sebagai Senjata Politik itu tidak Ber-Tuhan

PERADABAN.ID – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), mengkritik keras aktor politik yang memperalat agama sebagai senjata politik itu sebagai kelompok yang tidak ber-Tuhan.

“Itu aktor-aktor politik harus tanggung jawab dong, jangan cuma seenaknya saja rebutan kekuasaan tanpa rasa tanggung jawab terhadap masa depan dan kebutuhan negara,” tegasnya dalam Studium Generale Menakar Indonesia Ke Depan, di Universitas Surabaya (Ubaya) Rabu, (31/8/2022).

Politik identitas dirasa Gus Yahya masih menjadi benalu dari kehidupan harmoni bangsa Indonesia. Lebih-lebih benalu itu dinilainya sebagai usaha tidak bertanggung-jawab terhadap masa depan dan keutuhan negara.

“Dalam perspektif Islam, masa depan itu penting sekali. Hal ini tersebut dalam ayat waltanur nafsum mā qaddamat ligad, setiap orang harus memperhatikan betul apa yang dikerjakan hari ini terkait akibatnya di masa depan,” papar kiai kelahiran Rembang tersebut.

Statement ini, lanjut Gus Yahya, diapit oleh dua statement yang sama ..ittaqullah waltanur nafsum mā qaddamat ligad wattaqullah. Bertakwa itu makna dasarnya adalah bertanggung jawab pada sesama, pada alam, dalam bingkai pertanggung jawaban di hadapan Tuhan.

Mungkin anda juga suka

“Jadi aktor-aktor yang memperalat agama sebagai senjata politik itu tidak ber-Tuhan, karena tidak bertanggung jawab kepada masa depan,” terangnya.

Gus Yahya begitu menyesalkan kebiasaan aktor politik yang masih memakai politik identitas sebagai wacana untuk memperdagangkan suara merebut kekuasaan tanpa ada upaya dalam mempertanggung-jawabkan apa yang mereka lakukan terhadap masa depan bangsa, “menyembuhkan luka masyarakat itu sulit”, imbuhnya.  

Mantan Jubir Presiden Abdurrahman Wahid itu kini sedang memperjuangkan sebuah sikap agar agama berhenti menjadi sebuah masalah, terutama dalam kontestasi politik.

“Karena Indonesia ini negara mayoritas muslim terbesar dunia. Maka kalau ada masalah agama, yang paling banyak muncul di permukaan adalah jurusan Islam, sebagaimana India ya Hindu,” papar alumni Sosiologi UGM itu.

NU-Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia seolah-olah harus menyangga tanggung jawab yang begitu besar dalam memadamkan kebakaran yang tidak pernah mereka lakukan.

Mungkin anda juga suka

“Kami harus menyangga beban yang begitu besar, tapi dengan sumber daya yang sangat jauh dari kebutuhan, baik Muhammadiyah maupun NU,” ungkap Gus Yahya.

Putra KH Cholil Bisri Rembang itu kemudian menjelaskan bahwa permasalahan politik identitas sebenarnya bukan hanya urusan organisasi masyarakat.

Ia menilai kontroversi itu hanya bisa muncul sebagai ancaman kalau dipolitisasi. Kalau tidak dipolitisasi kita tidak sulit memarginalisasi kelompok-kelompok bermasalah tersebut, “mereka distigma sedikit terpaksa minggir sendiri”, sarannya.  

Gus Yahya kemudian berpesan kepada audiens agar tidak memilih kelompok yang mempolitisir agama sebagai alat dalam mendulang kuasa yang jelas-jelas tidak mempunyai rasa tanggung jawab terhadap masa depan.

“Ini penting, Karena dasar kita hidup di dunia ini adalah tanggung jawab kepada masa depan. Kalau urusan dendam masa lalu, terlalu banyak dendam, terlalu banyak sakit hati, terlalu banyak kemarahan. Tapi kita punya kepentingan bersama tentang masa depan, bagi anak-anak kita,” pesannya.

Studium Generale Menakar Indonesia Ke Depan yang diselenggarakan oleh Universitas Surabaya ini bertajuk “Harmoni Kehidupan Beragama untuk Merawat Indonesia”. Ketua Umum Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir hadir pula menemani KH Yahya Cholil Staquf sebagai narasumber.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button