Kisah

Kiai Saleh Lateng yang Berumah di Tubuh Gerakan Pemuda Ansor

PERADABAN.ID – Salah satu perintis berdirinya Gerakan Pemuda Ansor adalah Kiai Saleh Lateng. Seorang kiai kelahiran Mandar, Banyuwangi itu dikenal sebagai kiai peguron dan kiai kanuragan.

Lintasan tirakat Kiai Saleh Lateng terbentang jauh dari Madura-Makkah. Mewarisi apa yang disebut oleh Mirjam Lucking (2021) sebagai “guided mobility” (mobilitas terpandu), dimana dawuh guru, sanad ilmu dan aktivisme jadi ritus yang terintegrasi, mempertebal otoritasnya sebagai kiai penggerak.

Bekna, Cak! Lamun sampe’ pitung tahun munduk e diye, pagi’ bekna dedi uring alim raje,” (Kamu, Cak! Kalau sampai tujuh tahun mondok di sini (Bangkalan), kelak kamu akan menjadi ulama besar) pesan Syaikhona Kholil kepada Kiai Saleh.

Baca Juga Kiai Ali Maksum, Pesantren dan Sepak Bola

Pesan itu mengakar di benak Kiai Saleh Lateng dengan cukup baik. Sehingga dari Subaraya, Madura kelana keilmuan itu berlanjut di Makkah.

1894, Kiai Saleh Lateng menyerap seluruh ilmu yang ada di Mekkah selama tujuh tahun, berguru kepada sejumlah ulama besar seperti Syekh Khatib Minangkabawi, Syekh Mahfud at-Tarmasi, Syekh Nahrawi al-Banyumasi, Syekh Syarqowi al-Sampangi, Syekh Musa Nawawi Sidogiri, Syekh Anwa Mandailing Natal dan masih banyak lagi.

Sepulang dari berkelana, pada 4 Maret 1910 Kiai yang memiliki nama lengkap KH Kiagus Muhammad Sholih Syamsuddin (17 Maret 1862) itu mendirikan Pesantren Lateng dengan izin resmi dari Bupati Banyuwangi Raden Panji Kusumanegara.

Baca Juga Sketsa Watak ala Gus Dur dan Keinginannya Membuat Novel

Pesantren Lateng menjelma menjadi ruang residensi para santri untuk menempah keilmuan pesantren, ilmu kanuragan, hingga kesadaran akan nasionalisme yang pada saat itu dianggap sensitif. Sampai pada tahun 1917 Pesantren Lateng sempat dibakar dan baru setahun berselang dibangun kembali.

Paras Pesantren Lateng pasca pembubaran itu tidak meredup, ia kian memberi nyawa bagi masyarakat sekitar. Residensi itu kian diperkuat. Sebagai kiai penggerak yang berkarib dengan Kiai Wahab Hasbullah, dua perintis itu menggembleng para pemuda dan gigih melawan penjajah.

Pada tahun 2023, Tim Ahli Cagar Budaya Banyuwangi bersama Pemkab Banyuwangi coba mendaftarkan peninggalan Kiai Saleh Lateng itu sebagai cagar budaya baru di Banyuwangi.

Menariknya, koleksi kitab-kitab kuning di almari-almari kiai kelahiran Mandar, 17 Maret 1862 itu menjadi koleksi yang mahakarya dari kitab-kitab klasik yang langka.

Baca Juga Kiai As’ad, Santri Perantara dan Kiai Penjaga NU

Selain itu, Kiai Saleh Lateng dalam cerita lisan masyarakat dianggap memiliki karomah-karomah yang cukup menjadi evidence betapa dia juga fasih di bidang kanuragan, seperti meninju preman sampai 30 meter hingga ketika berseteru dengan penjajah Belanda, dia pernah melempar butiran kacang hijau yang menjadi bom dan bekerja menumpas lawan.

Sesuatu yang tak terputus adalah bahwa Pesantren Lateng menjadi saksi terbentuknya Anshoru Nahdlatoel Oelama (ANO) pada 1934 yang hari ini menjadi Gerakan Pemuda Ansor.

Sahih, gerakan ini terbentuk dari kewaskitaan dua pepunden Nahdlatul Ulama, KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Saleh Lateng. Dua santri Syaikhona yang pernah ditempah di Sarekat Islam itu menerima mandat peradaban untuk memberi sebuah warisan yang tak pernah lekang oleh zaman, Nahdlatul Ulama dan Gerakan Pemuda Ansor.

Kiai Saleh Lateng, dari Mandar menuju Mandat Peradaban.

Yusuf Ali Syafruddin

Pegiat di Kajian Islam dan Kebangsaan

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button