Opini

Kedangkalan Kreativitas: Tambang di Lambang Nahdlatul Ulama

PERADABAN.ID – Kiai Ridwan Abdullah meminta maaf kepada Kiai Wahab Hasbullah. Nyaris satu bulan setengah dari tenggang waktu yang diberikan, Kiai Ridwan Abdullah tak jua rampung menyelesaikan tugasnya.

Sebagai kiai alim yang piawai melukis, Kiai Wahab meminta Kiai Ridwan Abdullah untuk membuat lambang Nahdlatul Ulama (NU). Dua bulan waktu diberikan sebelum penyelenggaraan Muktamar kedua NU dilaksanakan di Hotel Muslimin Peneleh, pada tahun 1927.

Akhirnya di suatu malam, sekitar jam dua dini hari, Kiai Ridwan Abdullah bergegas dari lelap tidurnya. Salat istikharah yang mengantarkannya pada sebuah mimpi, mendorongnya mengambil kertas dan pena. Lalu membuat sketsa gambar yang didapat dalam mimpinya itu.

Dalam mimpinya, Kiai Ridwan Abdullah melihat sesuatu yang indah di langit biru. Tambahannya, adalah nama Nu dengan huruf bahasa Arab.

Dari Surabaya, beliau bertolak ke Malang, mencari kain. Kain berukuran lebar 4 meter dan panjang 6 meter. Lembaran kain yang sesuai dengan mimpinya.

Baca juga: PBNU Menolak Disodori Konsesi Tambang yang Rugikan Warga

Dan itulah yang membuat para ulama dan tamu undangan harus takjub akan kehebatan Kiai Ridwan Abdullah. Kendati di satu sisi, mereka penasaran dengan makna yang tersirat dari lambang yang dituai melalui perjalanan spiritual tersebut.

“Berpeganglah kepada tali Allah, dan jangan bercerai berai” dijelaskan oleh Kiai Ridwan Abdullah untuk menggambarkan makna tali. Posisi tali yang melingkari bumi, dimaknai sebagai simbol ukhuwah dengan untaian tali berjumlah 99 yang melambangkan Asmaul Husna. 

Bintang sembilan, adalah lambang Walisongo, bintang besar ditengah untuk menjelaskan keagungan Nabi Besar Muhammad Saw., dan bintang kecil yang berjumlah empat di samping, untuk menjelaskan Khulafaur Rasyidin. Dan 4 bintang kecil di bawah, adalah mazhab yang empat.

Panjangnya proses dan kedalaman makna dalam pembuatan lambang NU itu tak berarti apa-apa, setidaknya bagi mereka, yang belakangan ini, merubahnya dengan alasan apa pun.

Ada lambang NU yang tiba-tiba berubah warna, lambang bumi tetiba diilustrasikan dan diubah menjadi tambang. Lalu mungkin, ada lainnya yang belum penulis lihat. Nyaris sama, atas nama sebuah kritik.

Seperti pada umumnya, kritik akan menjadi kritik. Ia tidak pernah dihalangi, kendati di titik tertentu, harus menerima jawaban-jawaban. Sirkulasi pendapat begitu hidup di dalam NU. Dan tidak hanya pada era sekarang, kaitannya dengan konsesi tambang.

Gusdurian melakukan kritik. Pendapat Gus Dur disebarkan. Akademisi melakukan kritik. Tak ada yang merelokasi semua kritik ini. Semuanya seperti udara, oksigen yang mengisi denyut organisasi untuk lebih kuat lagi.

Saya tidak mau berkomentar terlalu panjang, karena antara lingkungan dengan NU, sebenarnya sudah banyak yang mengulas, termasuk dari perspektif hukum Islam. Keduanya, jika mengutip pengantar Gus Yahya (2022), adalah bagian tugas kekhalifahan.

Pun jawaban atas kenapa NU sebagai organisasi harus mengolah tambang, juga pernah tertulis dalam opini berjudul “Demokrasi Post-Secular dan Agenda Kesetaraan”.

Baca juga:

Tetapi mengedit (mengubah, mengurangi hingga menambahi) lambang NU dan melabelisasinya atas nama kritik – dengan pembelaan mengedit tidak merusak lingkungan – adalah bentuk kedangkalan kreativitas. Kekalapan intelektual yang mungkin saja, berburu euforia semata di sosial media, agar viral dan tidak bersifat organik.

Kelatahan-kelatahan yang terlalu percaya diri.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button