Berita

Haji Hasan Gipo, Presiden HBNO 1926

PERADABAN.ID Haji Hasan Gipo, jika tidak berlebihan dikatakan, adalah pintu masuk KH Wahab Hasbullah berkenalan dengan tokoh-tokoh nasional seperti HOS Cokroaminoto, Soekarno, Muso, Kartosoewiryo, dan Dr. Soetomo.

Sebab kemahirannya, tidak hanya dalam ilmu agama, tetapi juga ilmu umum membuatnya dekat dengan para tokoh tersebut.

Aktivisme sosok kelahiran 1869 M ini dalam tumbuh kembangnya Nahdlatul Ulama, tidak dapat dipandang sebelah mata, begitu agung. Hingga akhirnya, melalui ‘tahlilan’ haul Syaikhona Kholil yang berlangsung di rumah KH Ridwan Abdullah, di Bubutan, Surabaya, sepakat memilih Haji Hasan Gipo sebagai Presiden Hofdbestuur Nahdlatoel Oelama, di tahun 1926.

Pendirian Nahdlatul Wathan, diskusi di forum Taswirul Afkar dan keterlibatannya dalam Nahdlatul Tujjar, adalah sederetan aktivisme beliau bersama dengan para ulama.

Termasuk kedermawanannya, utamanya dalam pemberangkatan utusan Komite Hijaz bertemu Raja Abdul Aziz bin Sa’ud. Utusan yang mulanya KH Bisri Syansuri dan KH Asnawi Kudus, karena melintang sebuah halangan, digantikan Kiai Wahab dan Syaikh Ahmad Ghanaim al-Mishri.

Baca juga

Utusan ini yang menyampaikan inspirasi Islam Tradisionalis, utamanya berkaitan dengan agar diberikan ruang bebas untuk umat Islam di Hijaz menjalankan amalannya sesuai dengan salah satu Madzhab, tidak dipaksa menjalankan asas tunggal madzhab Wahabi.

Menariknya, beliau mempunyai badan sigap dan kekar yang kerap digunakannya berhadap-hadapan dengan kelompok yang lain, yang menurutnya keliru. Seperti saat berhadapan dengan tokoh PKI.

Keberaniannya ini ia gunakan untuk menantang Muso. Tak tanggung-tanggung, adu nyali itu menurut Amirul Ulum (2022), dengan cara siap ditabrak kereta api .

Peristiwa ini, berselang perdebatan sengit antara Kiai Wahab dengan Muso terkait adanya Tuhan. Silang pendapat meruncing diantara tokoh tersebut. Beberapa kali, Kiai Wahab menjelaskan, Muso lantang menentang hujjahnya. Dari sini, tampak bagaimana sikap keberpihakan pria kelahiran Surabaya itu terhadap agama.

Baca juga:

Dalam beberapa literatur, lama beliau menjadi Ketua Tanfidziyah bermacam-macam. Ada yang mengatakan 3 (tiga) tahun. Yakni pada Muktamar di Semarang pada tahun 1929, beliau digantikan oleh KH Achmad Noor. Dan ada juga, sumber yang mengatakan beliau diganti pada Muktamar di Banyuwangi pada tahun 1934.

Tetapi, seperti yang dikatakan Ayung Notonegoro (2021), beliau menjadi Ketua Tanfidziyah sampai masa akhir hayatnya, alias tidak tergantikan. Sebagaimana juga terjadi pada KH Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button