Opini

Gus Yahya Mondok; Antara Niat, Pamit dan Disangoni

PERADABAN.ID – Luka bakar dalam ilmu medis, digolongkan menjadi tiga derajat. Derajat pertama, atau yang biasanya disebut superficial burn merupakan luka dengan gejala paling ringan dan bisa sembuh sendiri. Cirinya kulit tampak merah, kering dan terasa sakit. Luka bakar derajat satu, biasanya terjadi akibat terpapar panas matahari.

Sementara derajat yang kedua bisa disebabkan benda panas (seperti setrika atau knalpot motor). Luka bakar ini terjadi pada epidermis dan sebagian dermis (lapisan kulit yang lebih dalam). Disebut superficial partial-thichknes burn, ciri luka ini adalah kulit tampak merah, lecet, melepuh, bengkak dan menimbulkan nyeri hebat.

Full thichkness burn atau luka bakar derajat tiga ini bisa menyebabkan komplikasi seperti infeksi dan kehilangan darah sampai dengan kematian. Luka ini menyentuh seluruh lapisan epidermis dan dermis, atau lebih dalam lagi. Sehingga, operasi menjadi salah satu jalan mengobatinya.

Baca Juga Berita dan Informasi Gus Yahya Terbaru

Jika merujuk catatan medis di atas, bukan derajat satu atau tiga yang mengenai kulit di bagian kaki Gus Yahya. Luka yang menimpa kaki Gus Yahya saat dirinya jatuh saat naik motor, barangkali termasuk derajat dua.

Jika demikian benar, Gus Yahya tidak musti memaksakan diri nekat berangkat ke Yogyakarta, tepatnya ke Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak. Atau barang sebentar, menunda hari sampai lukanya membaik mendekati sembuh. Apalagi, tenaga kesehatan di Puskesmas setempat sudah jelas berpesan agar Gus Yahya memilih istirahat terlebih dahulu.

Apa boleh dikata, Gus Yahya tetap ngotot memilih berangkat di hari itu juga. Cita-cita bulat yang sudah mengendap lama di dirinya, sepertinya mampu menetralisir rasa sakit, mengindahkan anjuran tenaga kesehatan, termasuk juga memenangkan kekhawatiran ibundanya, Nyai Hj Muchsinah Cholil.

Baca Juga Gus Yaqut Lepas Jamaah Haji ke Tanah Air

“Dia itu bonceng Mas Wisananya naik sepeda montor, jatuh, kakinya luka kena knalpot. Sudah saya periksakan ke Puskesmas gitu saja. Itu dilarang jangan sekarang besok saja kalau sudah sembuh, (Gus Yahya) gak mau,” cerita Nyai Muchsinah.

Alasan di atas, tampaknya hanya akan menjadi simpul cerita yang apabila tidak dilengkapi dengan simpul yang lain, kurang sempurna narasi dan kesannya. Pasalnya, Gus Yahya juga mengaku malu apabila tidak menginjakkan kaki di Krapyak sesegera mungkin sebab sudah pamit kepada guru-guru ngajinya, sekaligus kadung disangoni.

“Saya sudah pamit sama Kiai Fauzan, saya sudah pamit sama Mbah Ngaspani. Saya malu Bu, saya sudah disangoni kok,” sang Ibunda menirukan tutur polos Gus Yahya sambil tertawa kecil cekikian.

Baca Juga Petugas Haji Menjadi Primadona Jemaah Haji Indonesia

Adalah lazim dalam kultur masyarakat yang bercorak komunal, setiap yang berangkat pergi rantau menjumpai sanak keluarga, tetangga, teman atau guru untuk pamit memohon restu, dan jika beruntung, lebih-lebih disangoni. Entah berbentuk doa; semoga selamat ya le sampai tujuan; yang betah dan tenanan ya mondoknya. Atau juga berbentuk materi; ini le, buat jajan di jalan dan sebagainya.

Dengan balutan niat yang bulat, restu dari para guru ngajinya, dan malu sebab sudah kadung disangoni, Gus Yahya berangkat mondok ke Krapyak, Yogyakarta, dengan borok yang menempel di kakinya, akibat jatuh dan panas knalpot.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button