Opini

Gigi dan Makanan

PERADABAN.ID – Ada yang mengatakan, setiap kata yang diulang, diucapkan berkali-kali berarti belum selesai itu persoalan. Ibarat gigi dan makanan, gigi yang terkatup-katup mengunyah menandakan makanan belum siap masuk perut.

Bisa jadi, saat jajaran PBNU kerap mengulang keterjarakan identitas dengan politik, narasi ini belum rampung. Implementasi ke bawah, tampaknya belum sepenuhnya terkonsolidasi dengan utuh.

Entah karena memang tidak sepenuhnya informasi itu sampai, atau memang ada pihak-pihak yang bebal memanfaatkan identitas NU.

Tetapi, hanya narasi dan sikap itulah yang paling konkrit. Keterjarakan identitas dan politik memang harus diputus jauh-jauh. Jika memang, adalah politik kenegaraan dan kebangsaan yang akan dijalankan NU.

Tidak hanya itu yang menjadi ukuran objektivikasi, banyak hal dan pengalaman. Kontestasi politik yang membawa ikut identitas sebagai senapan, ongkosnya pun besar mahalnya; polarisasi.

Sudah benar, di hadapan para politisi – yang konon – digadang-gadang akan menjadi primadona kontetasi 2024, Gus Yahya menyeru agar NU tidak ditarik-tarik, termasuk juga identitas lainnya. Ini sikap yang berani dan terbuka, tanpa aling-aling dan bias sedikit pun.

Baca Juga

Satu sisi bahwa NU sebagai rumah besar yang membawahi banyak kepentingan, adalah benar adanya. Kebesaran NU tidak bisa direduksi secara sempit untuk kepentingan jangka pendek dan golongan tertentu.

Dan memang, kelindan Islam dan politik sebenarnya sudah teramat intim melintang dalam lintasan sejarah Indonesia. Berbuah kolaboratif, berbuah negasi. Kesemuanya seperti warna yang tak pernah saling ketemu, tetapi saling melengkapi.

Bahwa ada satu pendapat yang memisahkan, itu hal yang lumrah. Bahwa ada yang mengatakan keduanya saling melengkapi, juga sama halnya.

Ketika Ajip Rosidi dalam tulisannya Beberapa Masalah Umat Islam di Indonesia, dalam bidang politik, kita seperti mengamini lebih baiknya. Semakin masuk Islam ke dalam dunia politik, seperti kian kedodoran, kata Mahbub.

Sudah sejak tahun 1970 itu Ajip menilai bahwa di bidang politik, Islam ini sudah kedodoran. Sudah kecele.

Baca Juga Kelakar Gus Yahya: PBNU Traktir IPNU-IPPNU untuk Berkongres

Jalan keluarnya, lanjut Mahbub, Islam mesti stop kegiatan politik yang berlebih-lebihan. Stop jadi “Pak Tutur” dalam aktivitas politik, yang inisiatifnya dipegang pihak lain. Islam mesti mengimbangi kegiatan-kegiatan di bidang lain, seperti ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dan sosial.

Seperti gayung sudah bersambut, keterjarakan identitas NU dengan politik dipraktikkan di jalan-jalan yang seirama. Tidak heran jika mungkin, kerja sama di bidang-bidang pendidikan, sosial, perdagangan, ekonomi hingga perkebunan meningkat tajam digenjot NU.

Sebab dalam perlakuan dan aktivisme apapun terkait politik, NU, meminjam bahasa di atas tadi, inisiatifnya dipegang pihak lain. Terlebih untuk hal-hal yang mungkin sudah kita pahami sebenarnya.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button