Opini

Dialog Antara Pedang dengan Batang Leher (Bag. I)

PERADABAN.ID – Kalimat itu cukup mudah dicari muasalnya di mesin pencari. Salin ulang “dialog antara pedang dengan batang leher” dan ribuan hasil akan terpanggil, berbaris dengan rapih.

Salah satu dari barisan itu akan kamu pilih, baca dan yakini, dan beberapa mungkin kamu baca sambil lalu. Atau sebelum mencari, sudah terbayang peristiwa Nabi Ibrahim?

Dialog disebut sebagai jalan keluar dari sebuah perdebatan. Pernyataan itu semacam klise seorang anak sekolah dasar ketika didekte gurunya. Kenyataannya, di dalam diskursus dialog, terdapat banyak peraturan tak tertulis (unlaw written) yang, tidak cukup disudahi hanya dengan bersepakat dalam diam.

Meminjam Kanafani, sejarah peradaban dunia selalu menjadi sejarah pertarungan antara orang lemah melawan orang kuat. Orang lemah, yang mempercayai kebenaran kasus, menentang orang kuat yang, menggunakan kekuatan mereka untuk mengeksploitasi yang lemah.

Ia menjelma serupa bom waktu yang sekali kejut tiba-tiba membabat habis dan, memusnahkan berjuta fakta.

Baca Juga Berita dan Informasi Gus Yahya Terbaru

Dialog kadang juga menarik garis sejarah dari suatu pertikaian tak berujung sebab peraturan itu disifati; tiba-tiba.

Dari sini, dialog, akan lebih tepat kalau disebut sebagai alternatif dari lahirnya pertikaian baru.

Tapi Alquran memerintahkan kita untuk berdialog, syawir, jidal dalam menilai kebenaran perkara, kok? Lantas kenapa dialog diartikan sebagai media pertikaian baru?

Saya mencoba menjawab dengan menyebut nama Ghassan Kanafani, seorang sastrawan, jurnalis dan aktivis pejuang kemerdekaan Palestina.

Dari Kanafani nanti, saya akan mendudukkan sebuah perkara ihwal pentingnya upaya rekonsiliasi antara Israel-Palestina dilakukan tidak dengan menjauhi Israel atau mendekati Palestina saja. Seperti yang dicontohkan oleh KH Abdurrahman Wahid dan kemudian KH Yahya Cholil Staquf.

Judul di atas, saya kutip dari sepotong wawancara Ghassan Kanafani dengan jurnalis ABC Australia Richard Carleton pada tahun 1970 di Popular Front for The Liberation of Palestine (PFLP), Beirut.

Baca Juga Gus Yahya Mondok; Antara Niat, Pamit dan Disangoni

Ketika Richard menanyakan pertanyaan yang membuat Ghassan naik pitam. Pertanyaan itu, menyinggung keyakinan Ghassan selama ini. “why won’t your organisation engage in peace talk with the Israelis?”

Kanafani kemudian menjawab dengan lontaran satire, “You don’t mean peace talks exactly. You mean capitulation, surrender.”

Peace talks disikapi Kanafani sebagai bagian dari ritus penyerahan. Pernyataan Kanafani ini mengingatkan saya pada George Orwell mengenai teori double think yang digunakan Orwell sebagai kritik atas fasisme dan totalitarianism.

“War is peace, freedom is slavery, ignorance is strength.” (1984, George Orwell)

Resistensi yang diberikan Kanafani dan juga Orwell itu merupakan sikap—yang bagi sebagian awam dinilai kekerasan—tapi justru itu sebuah ketegasan.

Alasan Kanafani menolak ajakan berdialog tidak karena ia merasa takut.  Melainkan dia menginginkan martabat manusia dijunjung terlebih dahulu.

Orang Palestina diduduki hanya untuk disebut layak sebagai orang Palestina, meskipun mereka tinggal di kamp-kamp pengungsian, dijadikan budak dan mati begitu saja di jalanan.

Maka, Kanafani ingin memulai dialog setelah kemanusiaan dituntaskan terlebih dahulu, lantas dialog bisa berangkat dari nilai, kejernihan dan kesetaraan antar sesama manusia.

Yusuf Ali Syafruddin

Pegiat di Kajian Islam dan Kebangsaan

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button