Opini

Di Balik Humor

PERADABAN.ID – Mahbub Djunaidi membentangkan pemikiran dalam waktu sekali jadi. Serakan tulisannya di beragam media terkumpul menjadi 432 halaman dalam buku berjudul Homor Jurnalistik; isinya menertawakan peristiwa.

Mahbub adalah orang NU yang langka. Ia pejuang yang pintar menulis. Ciri khasnya, ia menulis sekali jadi. Hasilnya alamiah dan spontan. Kata seorang karibnya. Teman karibnya yang lain, mengatakan Mahbub berbeda dengan GM, seorang penulis Catatan Pinggir yang majalahnya bertempat di pusat, yang melontarkan masalah dengan bisik dan gumam yang membuat kerut di dahi.

Tentu saja, Mahbub dengan yang lainnya, akan selalu berbeda. Bisa dari dalam NU atau di luar NU, atau setengah-setengah NU, dan semacamnya. Tapi yang menarik dari tulisannya, membentangkan fakta laten yang mencekam, dengan tulisan-tulisan yang membuat senyum mengernyit. Jika tidak semua, mungkin sebagian besar.

Baca Juga

Komedi sejati adalah tragedi sejati, dan sebaliknya. Plato dalam Symposium-nya berkata begitu terangnya. Betapapun Gus Dur, Presiden yang pintar merawat humor, setiap dagelannya, memang menancapkan tragedi, setelah dipikir-pikir.

Sekiranya Gus Dur tidak pernah menemui raja Fahd, sebagaimana tertuang dalam buku Menghidupkan Gus Dur, rakyat Saudi Arabia mungkin tidak akan pernah melihat rajanya tertawa. Maksudnya, Gus Dur tidak hanya bisa membuat raja Saudi tertawa, tetapi juga memperlihatkan rakyat Saudi murung, sekaligus mungkin, raja Fahd itu spaneng. Dari tertawa inilah, ada tulisan pengumuman berbahasa Indonesia di Arab bagi jamaah haji Indonesia, yang sebelumnya, tidak ada.

Ada banyak lainnya bisa dikutip dari Gus Dur, tentu saja tentang humornya. Mulai dari “dengkul Amien Rais”, penyembelihan putera Ibrahim yang gak jadi. Bisa jadi ia menertawakan suatu peristiwa, yang ternyata itu tragedi.

Nah biasanya, humor-humor ini pun sering muncul di tengah panggung forum, apalagi NU. Gus Yahya, sebelum melontarkan homor tentang orang Madura dan ABRI di acara UII kemarin, beliau suatu ketika juga berbicara tentang tentara, tentu saja dengan pernik humor.

Nusantara dulunya NU, Santri, dan Tentara. Sekarang, NU, Santri, Pemerintah, Rakyat. Sependek pemahaman penulis saat melihat dan mendengar potongan suara dalam rangkaian sambutannya itu, juga meledakkan tawa seisi ruangan.

Ada ironi di balik tawa yang bergema itu. Ada tragedi yang terselip mungkin, tidak secara jelas dibicarakan dan ditangkap. Tapi mungkin ada kisah-kisah lainnya, antara hubungan NU, Santri dan Tentara.

Baca Juga

Artinya, yang dibicarakan, yang dihumorkan itu, bersifat lampau. Dan kita bisa mempunyai versi masing-masing menafsirkannya. Entah, mungkin di masa lampau tentara menjaga pesantren-pesantren, atau semacamnya.

Atau pula, tentara berkeinginan untuk memberikan kemaslahatan bagi NU, semisal dengan menjadi pimpinan, sebagaimana di Cipasung waktu itu. Atau juga, tentang model kepemimpinan tentara yang rapi dan tertib. Kita tidak tau dibalik humor, fakta apa yang ingin disampaikan. Selebihnya, kita hanya bisa menebak-nebak.

Tetapi belakangan ini, NU-TNI saling bertukar cerita, keduanya begitu akrab. Semisal saat Gus Yahya berbincang hangat sambil lalu tertawa dengan Andika Perkasa. Sampai-sampai Gus Yahya mengatakan Andika jangan-jangan orang NU. Dan Andika, menceritakan bagaimana internasional melihat NU.

Selipan humor dalam setiap dialog dan bicara itu, mungkin berkelindan tragedi. Tetapi yang memperhatikannya, tidak perlu mengerutkan dahi. Humor, pun tidak perlu soal tragedi, ia hanya pengisi kekosongan di saat isu serius sudah habis dibicarakan.

Kata Gus Dur, dengan lelucon, kita bisa sejenak melupakan kesulitan hidup. Dengan humor, pikiran kita jadi sehat. Semoga!

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button