Opini

Tawaf Wada, Air Mata dan Pesan Sebelum Pulang

PERADABAN.ID – Salah satu tugas penting dalam serangkaian ibadah haji adalah tawaf wada. Tawaf ini dilakukan sebagai tanda perpisahan dan penghormatan terakhir kepada Baitullah dan Masjidil Haram. Tawaf wada juga menandai berakhirnya semua ibadah haji.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari no. 1755 dan Muslim no. 1328, Ibnu Abbas mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Manusia diperintahkan untuk melakukan tawaf wada di Baitullah sebagai akhir dari serangkaian ibadah haji. Bagi perempuan yang sedang haid, mereka diberi keringanan untuk tidak melakukannya.”

Saat melakukan tawaf wada, umumnya para jemaah merasa nyaman dan betah tinggal di Mekah. Mereka merasa semangat dalam menjalankan ibadah fardhu dan sunnah, dengan tekad kuat untuk mengumpulkan amal shaleh. Keindahan Mekah yang mereka temui di setiap sudut kota suci juga memberikan pengaruh psikologis yang kuat, sehingga membuat mereka enggan meninggalkan kota tersebut.

Oleh karena itu, tidak jarang air mata mengalir deras saat berdoa sepanjang pelaksanaan tawaf wada. Kesedihan semakin mendalam ketika para jemaah diberi kesempatan oleh para pembimbing untuk berdoa masing-masing di tempat yang sejajar dengan Maqam Ibrahim. Sambil menatap Multazam, hati mereka terpanggil dan air mata semakin deras.

Baca Juga

Menangis dan mengeluarkan air mata bukanlah tanda kekanak-kanakan. Dalam pandangan para sufi, air mata adalah tanda kebersihan hati, kekuatan spiritual, dan penghayatan yang mendalam. Oleh karena itu, tokoh-tokoh revolusioner seperti Martin Luther King, Che Guevara, dan Nelson Mandela sering kali menangis dan meneteskan air mata.

Tangisan yang meledak saat tawaf wada umumnya timbul dari kesedihan yang mendalam. Mereka sedih karena harus berpisah dengan Baitullah. Sedih karena harus meninggalkan kelezatan merasakan dekatnya diri dengan Allah. Sedih karena khawatir tidak bisa menjaga hubungan dekat dengan Allah di malam hari. Dan sedih karena khawatir akan menjauh dari Allah saat mereka kembali ke tanah air mereka.

Tangisan dan air mata yang mengalir selama tawaf wada bukanlah tangisan yang menunjukkan penderitaan diri sebagai sumber kesedihan. Melainkan, tangisan itu mengungkapkan kekhawatiran akan berpisah dengan Allah sebagai sumber kesedihan. Pada titik ini, air mata para jemaah haji diyakini oleh para sufi sebagai mata air kehidupan. Ketulusan cinta mereka kepada Allah dan Rasulullah pada akhirnya akan dibalas dengan air mata cinta dari Allah dan Rasulullah.

Baca Juga Jadi Teladan Pengelolaan Jemaah Haji, Malaysia dan Libya Belajar ke Indonesia

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda, “Dua mata yang tidak akan tersentuh oleh api neraka adalah mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang tetap terjaga di malam hari untuk berjaga-jaga (dari serangan musuh) saat berperang di jalan Allah.”

Dalam air mata yang tumpah karena takut berpisah dengan Allah, momentum tawaf wada, menurut ulama, bukanlah akhir perpisahan. Sebaliknya, itu adalah awal dari kebersamaan. Di tempat itu, setiap jemaah akan menemukan sumber air cinta dari Allah dan Rasulullah.

Pada titik ini, Imam Huzwiri meyakinkan bahwa Allah akan melindungi para jemaah haji agar tetap berada dalam lingkungan dan ikatan yang mendekatkan diri kepada-Nya. Allah akan memberikan kekuatan yang luar biasa untuk melakukan perubahan yang indah (QS. Al-Muzammil: 10), dan Allah akan menjaga mereka dalam kesungguhan dan keteguhan.

Ketentuan Tawaf Wada

Tawaf wada’ yang artinya perpisahan atau berpamitan, sejatinya ada keterkaitan makna dengan wada’nya/pamintannya Rasullah pada umatnya saat melaksanakan haji wada’ di tahun 10 hijriyah.

Dalam ketentuan fikih, jemaah haji diperintahkan melakukan tawaf wada’ ketika mereka hendak pulang ketanah air atau ketika mereka hendak keluar dari Tanah Haram. Tawaf wada’ dapat diartikan perpisahan atau berpamitan dirinya dengan Baitullah di Masjidil Haram, sebagai penanda ia akan pulang dan selesai menyempurnakan ibadah haji.

Ulama berbeda pendapat tentang hukum tawaf wada’. Ada yang menghukumi wajib dan ada juga yang menghukumi sunah.

وَطَوَافُ الْوَدَاعِ فِيهِ قَوْلَانِ (أَصَحُّهُمَا) أَنَّهُ وَاجِبٌ (وَالثَّانِي) سُنَّةٌ فَإِنْ تَرَكَهُ أَرَاقَ دَمًا (إنْ قُلْنَا) هُوَ وَاجِبٌ فَالدَّمُ وَاجِبٌ وَإِنْ قُلْنَا سُنَّةٌ فَالدَّمُ سُنَّةٌ

“Hukum tawaf wada’ dalam ibadah haji ada dua pendapat, pertama-dan ini yang paling sahih-adalah wajib; dan kedua sunah. Karenanya jika ditinggalkan maka harus menyembelih dam. Jika dikatakan wajib maka menyembelih damnya juga wajib. Tapi jika dikatakan sunah maka menyembelihnya juga sunah.” ( Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz VIII, halaman 15).

Baca Juga

Bagi jemaah haji yang ingin keluar dari Tanah Haram Mekkah, seperti ia hendak jalan-jalan ke Jeddah, ziarah makam Nabi di Madinah, atau tempat lain di luar Tanah Haram, maka sebaiknya ia mengerjakan tawaf wada’ terlebih dahulu sebelum keluar dari Tanah Haram Mekkah. Jika kembali ke Mekkah lagi, ia diperbokehkan melaksanakan ibadah umroh kembali dengan mengambil miqat di masjid Bir Ali. Atau boleh juga tidak melaksnakan umroh lagi.

Sementara, bagi jemaah haji yang keluar dari Tanah Haram Mekkah, seperti ia pergi ke Jeddah, Madinah, Thoif atau tempat lain di luar Tanah Haram, sementara ia belum melakukan tawaf wada’ terlebih dahulu, maka ia dianggap menyalahi atau bertentangan dengan hadis Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam;

لا ينفِرنَّ أحدٌ منكم حتَّى يكونَ آخرَ عهدِه الطَّوافُ بالبيتِ

“Janganlah seseorang di antara kamu pulang melainkan mengakhiri ibadah hajinya dengan tawaf di Baitullah” (HR. Muslim).

Yusuf Ali Syafruddin

Pegiat di Kajian Islam dan Kebangsaan

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button