Opini

Dari Turki Utsmani sampai Mughal

PERADABAN.ID – Peristiwa masa lalu – Turki Utsmani sampai Mughal – mengisahkan mileterisme dan peperangan. Turki Utsmani memerangi kerajaan-kerajaan Kristen Eropa di Barat. Mughal pun serupa, memerangi kaum Hindu di India Utara.

Peristiwa ini yang sampai sekarang melekat dalam ingatan. Keduanya mengendap sebagai warisan masa lalu. Pola pikir tentang agama, dikonseptualisasikan dan diimplementasikan dengan note peperangan dan penuh kompetisi. Hal itu tidak lepas dari sejarah dan peristiwa masa lalu seperti di atas, termasuk juga mentalitas.

Islamophobia yang muncul dalam komunitas-komunitas Kristiani, lalu pelan-pelan kita harus mengakui, juga muncul kafirophobia dalam komunitas Muslim. Kafirophobia, tulis Gus Yahya, ini mengendap sebagai mentalitas di kalangan umat Islam, bahkan juga masuk di dalam wacana-wacana keagamaan di lingkungan Islam.

Baca Juga Berita dan Informasi Gus Yahya Terbaru

Pendapat di atas belakangan ini jamak ditemui. Pelarangan terhadap jenazah non-muslim atau bahkan untuk muslim sendiri yang mempunyai pandangan politik berbeda, menjadi contoh konkrit yang tidak hanya menjelaskan gema suara kafirophobia melantun kencang, akan tetapi juga memperlihatkan titik gesekan Islam dan kemajemukan sebagai fakta sosiologis.

Sementara di sisi yang lain, embrio pluralisme, universalisme dan inklusivisme menjadi wacana baru dalam diskursus keagamaan. Diskursus ini tidak hanya menjadi wacana di kalangan umat Muslim, melainkan juga di luar umat Muslim itu sendiri.

Salah satu tokohnya adalah Abraham Joshua Heschel. Ia menitikberatkan pada pandangan pluralis, yang menjelaskan bahwa kesamaan antara manusia dan hubungannya dengan sang Pencipta. Singkatnya, menghormati manusia berarti merasakan kehadiran Tuhan, sebagaimana Heschel berpendapat dalam No Religion Is An Island.

Pandangan ini setidaknya membawa kita pada pandangan-pandangan tokoh di luar Islam, terutama keterkaitannya dengan keberagaman dan cara hidup bersama. Bahwa mereka, mempunyai kesamaan cita dan kemauan yang bisa menjadi titik jumpa kita, dari manapun jalannya.

Kepentingan menghadirkan wacana yang bisa menjadi titik hubung antara perbedaan nilai dan ajaran agama kian menemukan urgensinya. Sisi ini yang tampaknya hilang dalam praktik keagamaan yang cenderung ekslusif. Bahwa dalam peristiwa-peristiwa masa lalu, akomodasi terhadap perbedaan etnis, kuatnya budaya pluralistik dan heterogenitas politik sudah menghiasi wajah peradaban agama.

Dalam pandangan Gus Dur, ini dikatakan sebagai kosmopolitanisme peradaban Islam. Ia menampakkan diri dalam unsur dominan yang menakjubkan, yaitu kehidupan beragama yang eklektik selama berabad-abad (Bahri, 2022). Kosmopolitanisme ini menjelaskan karakteristik perbedaan pandangan – Mu’tazilah dan Asy’ariyah semisal – sebagai bentuk kreatifitas Islam, tidak sekadar pergulatan dan kemelut.

Kosmopolitanisme peradaban Islam bisa mencapai titik optimal dengan pemenuhan 2 (dua) syarat menurut Gus Dur. Pertama tercapainnya keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslim dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat (termasuk non-Muslim).

Antara pandangan Gus Yahya dan Gus Dur di atas mempunyai tali benang yang tersambung kuat, terutama untuk meluruskan dan meneruskan peradaban Islam yang kosmopolit. Termasuk Heschel. Gus Dur dan Gus Yahya sama-sama meletakkan fondasinya pada ajaran normatif dan kebebasan berpikir.

Di antara keduanya ini saling membutuhkan dan terkait. Ajaran normatif meletakkan nilai-nilai fundamental dalam ajaran agama, akan tetapi juga membuka perluasan tafsir untuk mencari perluasan wawasan dari sebuah kebenaran dari kebebasan berpikir, atau dalam bahasa Gus Yahya, merubah pola pikir.

Baca Juga Melampaui Stigma

Istilah-itilah seperti islamphobia, kafirophobia dan sejenisnya, akan terus bergulat dalam wacana keagamaan, entah sebagai manisfestasi dari kepentingan politik, atau keterbatasan memahami universalisme nilai-nilai keagamaan. Begitu juga sebaliknya, pluralisme, inklusivisme dan semacamnya akan terus eksis tegak berdiri. Sebab keduanya adalah bagian dari sejarah dan konsepsi masyarakat beragama terhadap doktrin masa lalu.

Pertanyaannya, adalah mana yang lebih tepat konsepsi itu diterapkan dalam ruang dan irama kemajemukan, baik di Indonesia atau dunia Internasional? Toh, permasalahan-permasalan selalu muncul dari klaim ekslusif, bermuara dari agama, politik hingga budaya dan ekonomi. Keterbukaan berpikir, menghargai sesama, menjadi klinik pengobatannya.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button