Opini

Tantangan Pemilu dan Visi Gus Menteri

PERADABAN.ID – Pemilihan Umum (pemilu) tahun 2024 yang sebagai ajang transisi kepemimpinan nasional sudah memasuki beberapa tahapan. KPU selaku lembaga yang bertugas menyelenggarakan dan melaksanakan pemilu telah menetapkan 24 partai politik sebagai peserta pemilu yang terdiri dari 18 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal Aceh. Hal itu sesuai dengan isi Keputusan KPU Nomor 551 Tahun 2022 tentang perubahan atas Keputusan KPU Nomor 518 Tahun 2022 tentang penetapan partai politik peserta pemilu.

Setiap negara, termasuk Indonesia, pasti punya cara yang berbeda dalam proses penyelenggaraan pemilihan dan memiliki tantangan-tantangan yang berbeda pula. Indonesia yang merupakan negara besar dan terlahir sebagai bangsa yang majemuk, di dalamnya terdiri dari beragam suku, agama, ras dan antargolongan. Sebuah anugerah yang sangat indah dan patut kita jaga bersama sebagai bentuk syukur kepada Tuhan YME agar bangsa ini tetap utuh, bersatu dalam keberagamaan.

Tantangan Indonesia menjelang pemilu salah satunya muncul karena adanya penggunaan politik identitas, seperti agama. Tentu kita masih ingat, momentum Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pemilu 2019 lalu meninggalkan kenangan buruk yang masih melekat di benak masyarakat Indonesia terkait politisasi agama. Banyak pihak yang khawatir jika kejadian itu terulang kembali di pemilu 2024.

Sebagaimana kita ketahui, belakangan ini sudah mulai banyak isu agama yang bermunculan. Mulai dari kontroversi pondok pesantren Al-Zaytun, urusan haji, hingga polemik nasab habaib yang menjadi perbincangan hangat publik tanah air.

Baca juga:

Isu-isu agama yang bermunculan itu tentu kita harap bukan merupakan bibit yang sengaja dipupuk oleh beberapa pihak untuk disemai dalam mewujudkan kepentingan politik menuju pemilu 2024. Akan tetapi, bagaimana pun hal yang demikian harus tetap diminimalisir agar tidak berkembang pesat menjadi isu-isu lain yang ingin memanfaatkan sentimen-sentimen agama.

Agama merupakan suatu sistem kepercayaan yang terdapat beberapa jenis dengan masing-masing pengikutnya. Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (1974) pernah mengatakan bahwa agama merupakan rasa percaya seorang manusia agar bisa nyaman ketika menjalani kehidupan, meliputi kenyamanan jasmani (fisik) dan rohani (jiwa). Apa yang disampaikan Koentjaraningrat tersebut jelas tidak salah. Faktanya, praktik beragama yang dijalankan oleh manusia memang membutuhkan rasa nyaman.

Agama dan negara memiliki relasi kuat yang tidak bisa dipisahkan. Agama diyakini mempunyai peranan penting dalam memengaruhi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak heran jika kemudian banyak pihak yang menjadikan agama sebagai salah satu alat politik guna merebut kekuasaan atau yang biasa kita sebut sebagai politik identitas.

Menyikapi hal itu, NU dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia juga secara tegas menolak politik identitas. Gus Yahya, sapaan akrab Ketua Umum PBNU, berharap agar agenda untuk bangsa serta komitmen untuk menjalankan kompetisi dijalankan secara bermoral. Sementara itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah mengajak agar dalam berkontestasi kita mengedepankan politik yang objektif dan rasional sesuai dengan koridor demokrasi modern.

Relevansi Visi Gus Menteri

Politik identitas dalam pemilu yang selama ini terjadi di Indonesia lebih didominasi  oleh penggunaan identitas agama untuk memenangkan kontestasi. Politik identitas menurut Abdillah dalam bukunya yang berjudul Politik Identitas Etnis (2002), adalah politik yang dasar utama kajiannya dilakukan untuk merangkul kesamaan atas dasar persamaan-persamaan tertentu, mulai dari etnis, agama, hingga jenis kelamin.

Sementara Cressida Heyes dalam bukunya yang berjudul Stanford Encyclopedia of Philosopy (2007) mengartikan politik identitas sebagai suatu jenis aktivitas politik yang dikaji secara teoritik berdasarkan pada pengalaman-pengalaman persamaan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh golongan tertentu.

Pada umumnya, gerakan politik identitas digunakan oleh kaum minoritas -dengan menonjolkan identitas- untuk memperjuangkan aspirasinya agar mendapatkan kesetaraan. Perjuangan itu hanya dilakukan untuk kelompoknya saja karena mereka menganggap dirinya sebagai korban ketidakadilan penguasa.

Sementara yang terjadi di Indonesia, penggunaan identitas agama sebagai gerakan politik justru seringkali dilakukan oleh kelompok mayoritas. Tentu kita semua menjadi bertanya-tanya, karena sangat kecil kemungkinannya kelompok mayoritas tidak mendapat hak yang lebih tinggi daripada kaum minoritas. Justru yang ada malah sebaliknya, kelompok minoritaslah yang lebih sering mendapat ketidakadilan. Apalagi praktik itu dibarengi dengan anggapan bahwa siapapun yang tidak sepaham dengannya dinilai menyimpang.

Baca juga: Berita dan Informasi Gus Yahya Terbaru

Praktik politik di negeri ini sebenarnya sangat mudah untuk dideteksi gerakannya. Apabila identitas baik agama, suku, ras, dan lainnya dijadikan sebagai komoditas politik dalam memengaruhi konstituen, maka gerakan yang digunakan adalah gerakan politik identitas yang hanya bertujuan untuk kepentingan kelompok (partai politik) mereka, bukan untuk kepentingan bangsa dan negara. Maka dari itu, politik identitas yang selama ini terjadi harus secara kompak kita hindari, bila perlu kita lawan karena hanya akan menimbulkan perpecahan.

Gus Menteri, sapaan akrab Menag RI, memiliki visi menjadikan agama sebagai inspirasi bukan aspirasi. Agama harus ditempatkan sebagaimana mestinya. Agama harus bersama-sama dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam pembangunan bangsa. Gus Menteri juga mengatakan bahwa agama sebisa mungkin tidak lagi digunakan menjadi alat politik, baik untuk menentang pemerintah, merebut kekuasan ataupun untuk tujuan-tujuan lainnya.

Narasi positif yang menjadi gagasan Gus Menteri itu bagi saya perlu untuk terus digelorakan. Karena, spirit yang terkandung dalam visi menjadikan agama sebagai inspirasi adalah spirit kebangsaan yang lebih mengedepankan kepentingan bersama, bukan kepentingan kelompok tertentu. Terlebih, jangan sampai ditahun-tahun politik ini keharmonisan umat beragama menjadi terganggu.

Sebagai warga negara yang ingin melihat bangsa ini semakin maju. Kita tidak boleh membiarkan jika ada oknum yang seenak jidatnya hendak mengkonversi agama menjadi kepentingan politik. Karena agama bukanlah komoditas politik yang bisa diperdagangkan oleh orang-orang yang rakus akan kekuasaan.

Oleh: Hendra Septiawan

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button