Opini

Rais Aam Gawat Darurat

PERADABAN.ID – Kala KH. Hasyim Asyari wafat pada tahun 1947, KH. Abdul Wahab Chasbullah mengantikan posisinya. Menariknya, Kiai Wahab tidak ‘berkenan’ menyandang status Rais Akbar sebagaimana menempel pada saat posisi pemimpin tertinggi Nahdlatul Ulama berada di tangan Kiai Hasyim.

Ketidakberkenanan ini bukan hal baru bagi Kiai Wahab. Waktu itu, Kiai Hasyim dipenjara lantaran menolak melakukan syeikere sebagaimana diperintahkan penjajah Jepang. Saat tanggung jawab itu dibebankan kepada Kiai Wahab, pun demikian adanya, Kiai Wahab bergeming menggunakan jabatan Rais Akbar.

Kiai Wahab, dengan segala kecerdikan, kealiman, dan kepiawaiannya, tidak mau mengiyakan iming yang harusnya, memang berhak dimiliknya. Beliau tetap berteguh pada batas ketawaduan seorang santri terhadap mahagurunya, wasilah yang sampai saat ini digunakan oleh PBNU dalam posisi kepemimpinan tertinggi: Rais Aam.

Baca juga:

Sikap ini apakah memangkir pembaruan? Tidak! Kiai Wahab membawa NU menjadi lebih besar. Keluar dari Masyumi dan mendirikan wadah politik sendiri. Satu terobosan, yang menurut Gus Yahya, mendudukkan NU sebagai organisasi yang kian inklusif.

Rentang antara 1980 – 1981 nyatanya cukup panjang bagi sebuah organisasi. Setahun itu menjadi ruang kosong jabatan Rais Aam saat Kiai Bisri wafat. Tak ada yang mendedah untuk segera mengisinya. Para kiai – bukan karena kebingungan, mengedepankan kehati-hatian untuk ‘memilih’ sosok penggantinya.

1 September 1981 mengentaskan kekosongan itu. Seperti yang sudah dikatakan: alot. Pertimbangan-pertimbangan aturan regulasi utamanya dalam mekanisme pemilihan diajukan. Pun, tak ada hasil.

Kiai Achmad Siddiq, ulama asal Jember, seperti mengeluarkan panah yang menusuk kebuntuan; pecah dan tidak ada satu peserta pun yang menolak usulnya. Tetiba disepakati. Mustasyar PBNU itu pun melempar nama Kiai Ali Ma’shum menggantikan Kiai Bisri. Sah, Kiai Ali Ma’shum menjadi Rais Aam PBNU.

Dalam satu riwayat, Kiai Ali Ma’shum mulanya enggan. Kendati dirinya pada akhirnya, juga mau mengemban amanah besar tersebut. “Kalau saya salah, pecatlah!” sebagaimana laman Tempo menulisnya (Ayung, 2018).

Tidak lebih, ketawaduan itu mendahului ambisi. Para ulama dan kiai sadar, posisi tertinggi itu bukanlah rebutan. Itulah tauladan yang terus dijaga dan menjiwai para ulama hingga sampai saat ini.

Dan sudah barang tentu, mendorong anak-anak muda NU untuk tampil memimpin NU. Ada peran Kiai Ali Ma’shum dalam proses regenarasi di tubuh NU.

Lain lagi, saat Muktamar 2015 silam yang memperlihatkan perjalanan muktamar dengan sangat sengit. “Lepaskanlah, kalau perlu saya akan mencium kaki-kaki kalian untuk menunjukkan sikap tawadu yang diajarkan Kiai Hasyim,” tutur Gus Mus.

Rupanya, ungkapan yang dilumuri air mata dan decak isak tangis permohonan maaf itu, menjadi pintu undurnya Gus Mus sebagai Rais Aam. Yang kemudian diputuskan, Kiai Ma’ruf Amin sebagai Rais Aam.

Mengenai Rais Aam ‘Gawat Darurat’, adalah penyebutan yang disematkan sendiri oleh Kiai Miftachul Akhyar. “Makanya saya katakan, saya ini Rais Aam yang gawat darurat, dan darurat ini selalu mulai dari awal saya itu, termasuk di MUI,” cerita KH Miftah.

Adalah Kiai Maimoen Zubair dan Kiai Tolchah yang memintanya untuk menjadi Rais Aam PBNU. Tidak hanya diminta, tapi juga dimarahi.

“Ba’da Isya saya ditelpon oleh Mbah Maimoen, malam itu dimarahi saya, ‘kiai sampeyan itu, saya jagak-jagakno kok malah mundur,” cerita Kiai Miftah.

“Kiai Tolchah marah gitu, ‘jangan ndak boleh, kalau ndak mau, saya akan datang ke Surabaya.”

Dua kisah ini kemudian yang membuat Kiai Miftach tak luput dari sorotan. Pidatonya mengenai tertib satu komando kebijakan politik NU, 9 naga dan pidatonya terhadap terkait politik-ekonomi, membuatnya empuk menjadi bahan kritik. Dibilanglah elit NU berlogika politik jatah dan seterusnya.

Baca juga:

Menjaga Wirid Perjuangan: Menyingkap “Ruang Intim” Kiai Gelorakan Perlawanan

Ada juga yang usul, perlu mereformulasi kebijakan PBNU kaitannya dengan keterjarakan dengan politik praktis, untuk mengembalikan kesejahteraan warga NU melalui aspirasi politik.

Pengusul itu seperti lupa, selama ini partai yang dieluh-eluhkannya itu, dan selalu mengklaim mewakili NU, tidak mengubah banyak postur ekonomi kewargaan NU, hingga pendapat Kiai Miftach dilontarkan.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button