Opini

Pemelintiran Informasi Haji

Dari Mahbas Jin, menelusuri terowongan, menuju Terminal Bab Ali, memang tidak memakan waktu lama, sekitar 5-10 menit jaraknya. Chandra bersama petugas laiinnya, sigap saat hendak mau turun, dan tetiba bau kotoran menyeruak.

Chandra menggendong dan mendorong kursi jemaah lansia berumur di atas 80 tahun. Dirinya baru saja membersihkan tubuh dan kain ihram jemaah yang kotor akibat hajat yang dibuangnya di tengah perjalanan. Dan jemaah lansia serombongan, dibawa petugas haji yang lain ke Masjidil Haram menunaikan ibadah umrah.

Kisah Chandra, petugas layanan haji lansia pada Sektor 2 Daerah Kerja (Daker) Makkah tidak muncul sebagai diskursus di sosial media. Narasi penelantaran jemaah haji Indonesia kelompok terbang 14 embarkasi Makassar menyelipkan kisah baik Chandra disusul pemelintiran informasi mengenai konsumsi jemaah.

Tidak berselang lama, mendadak viral. Video, juga cuitan itu memicu olok-olok terhadap penyelenggara haji. Naasnya, olok-olok itu sudah luber di jagat sosial media.

Kendati narasi itu mendapatkan klarifikasi dari pihak yang berwenang dan otoritatif, serta, sudah terdapat tutur maaf dari sang pembuat video, bahwasanya yang terjadi sebebanarnya adalah pemindahan lokasi inap jemaah, tampaknya tidak mengurangi realitas yang memperlihatkan kekacauan mengenai kecaman-kecaman publik terhadap penyelenggara.

Baca juga:

Pemelintiran yang mengakibatkan informasi tidak hadir secara utuh telah menyebar luas di layar sentuh publik. Pemelintiran yang diendapkan dengan benih-benih emosional dan menjadi lebih cepat viral di sosial media.

Pertemuan antara teknologi dan hal apa pun yang bersinggungan dengan agama melulu mendulang suara gemuruh, dan tidak utuh. Tak ada perkara – kata Lukman Hakim Saifuddin – atau urusan kehidupan mereka yang tidak terkait dengan ajaran agama (Moderasi Beragama, 2023).

Tak ayal, haji sebagai bagian dari praktik keagamaan, menjadi incaran umpatan jika terjadi kesalahan sekecil apa pun. Titik respon yang paling rakus mendulang emosi. Ditambah, berkaitan dengan operasionalisasi penyelenggaraan haji yang sebelum-sebelumnya ditabur benih silang debat antara Pemerintah dan Legislatif.

Isu-isu seputar haji seperti masa tunggu, kenaikan ongkos biaya dan regulasi dari lembaga otoritatif Arab Saudi kian menyempurnakan racikan emosional dan empati. Kesemuanya, tidak kasat di mata publik. Akibatnya, menebalkan potensi yang menjadikan kaburnya informasi dimanfaatkan untuk dipelintir menjadi hasutan dan kebencian. Publik yang menerimanya mengalami kebingungan, menebak-nebak, bahkan mencibir dan mencurigai.

Fenomena ini seperti mengamini apa yang dikatakan oleh Fukuyama (1999) sebagai bentuk gangguan dan kekacauan. Gangguan atau kekacauan kerap terjadi, merujuk pada apa yang jamak kita sebut sebagai disrupsi.

Mula-mula realitas yang menggambarkan tatanan yang terkoneksi, terhubung dalam atap globalisasi, melalui akselerasi komunikasi dan teknologi yang kian canggih telah mengacak sedemikian rupa nilai-nilai. Suatu transformasi radikal yang menyebabkan perubahan secara cepat lalu menyulap menjadi realitas maya (virtual reality), hingga bahkan realitas tambahan (augmented reality).

Setali, merujuk laporan We Are Social, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia mencapai 167 juta orang pada Januari 2023. Jumlah ini setara dengan 60,4 persen dari populasi di dalam negeri.

Artinya bahwa, seperti yang sudah dinarasikan di atas, benar atau tidaknya informasi bukan menjadi satu sumber persepsi publik terhadapan realitas yang faktual. Akan tetapi, kecepatan dan keluasan penetrasi informasi bisa mencapai publik dengan selera dan persepsi pengguna masing-masing. Dia tidak lagi mempunyai kontrol atas informasi yang menguasai dirinya, melainkan sisa-sisa persepsi yang banal.

Publik tidak lagi mempertimbangkan realitas yang faktual, melainkan persepsi dirinya terhadap realitas tersebut. Inilah yang kata Giddens, era modern dikatakan sebagai kultur risiko. Satu era di mana manusia lepas dari kontrol yang diciptakannya. Seperti, narasi viral di sosial media yang mebuat manusia terkapar dengan segala dendang informasi yang menempel di telinga dan layar sentuhnya.  

Dan belakangan ini, malah anggota DPR RI yang melalui cuitannya bertendensi menimbulkan kontroversi sebab mempertanyakan porsi sarapan dan ketidaktersediaan konsumsi bagi jemaah haji. Pernyataan ini sangat tendensius, mengingat pihaknya adalah yang menolak penyediaan sarapan buat jemaah haji dan terlibat dalam perencanaan penyelenggaraan haji 2023.

Seperti mengamini, bahwa kekacauan di era disrupsi bukan bersumber dari kepala-kepala orang yang awam, tetapi dari kerak mereka yang berpengetahuan.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button