Opini

NU dan Kelas Menengah

PERADABAN.ID – Potensi pertumbuhan kelas menengah di Indonesia masih cukup tinggi. Prediksi yang dilakukan Boston Consulting Group (BCG), menunjukkan di tahun 2020 jumlah kelas menengah Indonesia mencapai 62,8 persen dari 267 juta jiwa total populasi penduduk Indonesia. Data ini juga menunjukkan proporsi kelas menengah atas (upper middle) sebesar 18,4 persen, kelas menengah (middle) 25,5 persen, dan kelas menengah ke bawah (emerging middle) sebesar 18,9 persen.

Kategorisasi kelas menengah ini berdasarkan data pengeluaran keluarga per bulan yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Emerging middle, apabila pengeluaran keluarga per bulan sebesar 1,5 – 2 juta. Middle, apabila pengeluaran keluarga per bulan sebesar 2 – 3 juta per bulan. Dan Upper Middle apabila pengeluaran keluarga per bulan sebesar 3 – 5 juta.

Bila kita fokuskan terhadap middle class muslim saja, dengan asumsi penduduk islam Indonesia sebesar 87,7% maka penduduk Islam Indonesia di tahun 2020 akan mencapai 233 juta jiwa dan dengan menggunakan data proporsi kelas menengah dari BCG  tersebut diatas sebesar 62,8% maka jumlah penduduk kelas menengah muslim Indonesia di tahun 2020 diprediksikan akan mencapai jumlah 147 juta jiwa.

Baca Juga

Prediksi yang lain dilakukan oleh Mckinsey, penduduk Indonesia yang tergolong kelas pendapatan menengah pada tahun 2020 diperkirakan sebanyak 85 juta orang (31 persen penduduk), tahun 2030 sebanyak 145 juta orang (49 persen penduduk), tahun 2040 sebanyak 187 juta orang (60 persen penduduk), dan tahun 2045 sebanyak 223 juta orang (70 persen penduduk), dan akan terus meningkat ditahun-tahun berikutnya. Kelas pendapatan menengah didefinisikan sebagai penduduk dengan pendapatan ≥ USD 3600 per tahun; sedangkan lainnya < USD 3600 per tahun.

Dalam Buku Gen M (2017) yang ditulis oleh Yuswohady, Iryan A, Farid Fatahillah, Hasanuddin Ali, ada empat karakter Generasi Baru Muslim di Indonesia yaitu, Pertama, Universal Goodness, mereka melihat Islam sebagai rahmatan lil alamin yang memberikan kebaikan universal (universal goodness) kepada seluruh umat manusia. Kedua, Modern, mereka berpengetahuan, melek teknologi, dan berwawasan global. Ketiga, High Buying Power, mereka makmur dengan daya beli tinggi, kemampuan berinvestasi lumayan, dan jiwa memberi (zakat dan sedekah) yang cukup tinggi. Keempat, Religious, mereka religius dan taat pada kaidah-kaidah Islam.

Sebagian dari middle class ini kemudian mengidentitaskan dirinya sebagai kelompok hijrah, mereka adalah anak muda perkotaan yang mapan secara ekonomi. Mereka melakukan kajian-kajian keagamaan di perkantoran, mall, bahkan juga di hotel. Mereka juga tidak segan-segan menampilkan simbol dan identitas keislamannya di depan publik. Semangat beragama yang tinggi di satu sisi membuat mereka tampak lebih eksklusif dan menegasikan tradisi keagamaan yang sudah mengakar kuat di masyarakat muslim Indonesia.

Baca Juga

Di abad pertama NU, sebagian besar nahdliyin berada pada strata sosial kelas bawah. Namun sekarang memasuki abad kedua kita bisa melihat dan merasakan tanda-tanda terjadinya, meminjam istilahnya Prof M. Nuh, mobilitas vertikal di kalangan nahdliyin, baik dari sisi pendidikan maupun ekonomi. Nahdliyin tidak bisa lagi diidentikkan dengan strata kelas bawah. Secara strata sosial ekonomi nahdliyin sudah sangat beragam dan banyak juga yang masuk dalam kategori kelas menengah.

Banyak peluang yang bisa dilakukan oleh NU terhadap masyarakat kelas menengah ini. Sebagai contoh dari sisi ekonomi, dengan jumlah populasi yang sangat besar banyak pebisnis yang menjadikan nahdliyin sebagai potensi pasar yang menggiurkan. Perjalanan umroh, produk halal, fashion, keuangan syariah, ziswaf, media adalah produk-produk yang sedang ngetrend dikalangan masyarakat kelas menengah. NU harus mampu menjadi tuan rumah dari sisi ekonomi bukan menjadi obyek dari orang lain. BUMNU saya kira bisa menjadi pintu masuk yang sangat strategis dalam pengembangan kemandirian ekonomi NU.

Semangat belajar agama yang tinggi middle class adalah tantangan sekaligus peluang bagi NU untuk meningkatkan kehadiran dakwah dikalangan mereka, pengembangan konten keagaaman yang ramah kelas menengah, penetrasi ustadz dan kyai ke komunitas-komunitas perkantoran baik BUMN maupun swasta menjadi sangat penting. Hal yang sama bisa dilakukan oleh LazisNU.

Mobilitas vertikal yang dialami oleh sebagian besar warga nahdliyin akan terus terjadi dimasa-masa mendatang dan kita tidak kuasa untuk menolaknya. Sekali lagi adaptasi adalah kuncinya.

Oleh: Hasanuddin Ali, Founder Alvara Research Center

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button