Opini

NU Selalu Diludahi

PERADABAN.ID – Durasi video yang tidak lebih dari enam puluh menit itu membentangkan riwayat pergulatan KH Cholil Bisri di tengah masyarakat, agama, NU dan politik keindonesiaan.

Sesekali menggunakan kemeja atau sejenis koko putih, lalu kaos oblong, atau sekadar bersantai hanya mengenakan sarung berlarik kotak dengan lembaran koran di tangannya. Isapan rokoknya, ditemani gelitik ikan yang asyik berenang di kolam kecil dekat rumahnya.

Kesaksian dari mereka yang dekat, hingga lontaran bahasa yang digunakannya, tampak beliau adalah sosok kharismatik. Dengan penyertaan model pembelajaran antaranya dengan para santri yang sesekali, disisipi gelak guyon.

Caranya menjelaskan NU, keberpihakan terhadap masyarakat, hingga irisan politik yang bertentangan dengan Soeharto, termasuk keterlibatannya dalam pendirian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), teramat jujur dengan bahasa sederhana yang lumrah dimengerti tapi sangat dalam.

Keterkaitannya dengan PKB dan politik secara umum, saya rasa berkesinambungan dengan keterlibatan aktifnya dalam perumusan Khittah 1926 di Situbondo.

Baca juga:

Beliau berdiri sebagai Ketua Panitia Perumus di Komisi Program dengan Sekretaris H. Tan Gatot dengan beranggotakan H. Dachlan Ch, H.M Husaini Tiway, H.M Utsman Limbong, H.M Asy’ari Sanak, H. Asnawi Lathif, H. Muhammadiyah, dan H. Syafrudin Syah.

Khiththah – begitu Kiai Cholil menyebutnya – sebagai hasil Muktamar 1984, sungguh menjanjikan. Dengan alat itu potensi NU akan dikembangkan. Dan pada gilirannya NU menjelma menjadi kekuatan bangsa yang dahsyat (Ketika Nurani Bicara, 2021).

Untuk menyokong kekuatan maha dahsyat itu, lalu pelbagai lembaga di bawah NU didirikan. Hanya saja, pendapat Kiai Cholil, lajnah siyasiyah, belum merasa dan perlu dibetulkan.

Padahal, menurut Kiai yang pernah hidup di pengungsian Pare itu, perpolitikan juga termuat deretan indah pendanaran khiththah 1926. Kemungkinan besar, dengan terbentuk dan bekerja efektifnya, lanjutnya, Lajnah Siyahsiyah orang NU yang mana-mana tidak terjebak ke dalam posisi “tidak tahu harus berbuat apa-apa”.

Kiai Cholil pun dengan tegas mengatakan, khiththah dalam makna aslinya “Kawasan tanpa hujan”, musti diterjemahkan dengan sebanar-benarnya di lapangan. Agar NU, lanjutnya, tidak akan memberikan pantatnya disengat kalajengking dari lobang satu dua kali (la yuldaghul mukminu min juhrin Wahidin marratan).

Baca juga:

Sebuah kesadaran untuk membuat wadah politik bagi NU tidak terbendung. Terlebih di tengah fusi partai Islam yang dihidangkan oleh pemerintah Orde Baru yang memarjinalkan kepentingan politik NU.

Tepat pada 30 Mei 1998, awal mula bisik-bisik mendirikan sebuah partai bergema dalam istighatsah kubro, Jawa Timur. Dengan banyak kiai berkumpul di Kantor PWNU Jawa Timur.

Setelah acara itulah, banyak kiai mendesak Kiai Cholil menggagas dan membidani pendirian partai bagi wadah aspirasi politik NU. Desakan ini ditindaklanjuti dalam pertemuan yang terselenggara di rumahnya.

Kiai Cholil mengundang 20 kiai untuk membincangkan hal tersebut, dan nyatanya nyaris 200 kiai hadir. Dan dari rumah kediamannya inilah, tepatnya pada tanggal 6 Juni 1998, gagasan mendirikan partai sebagai wadah aspirasi politik NU, mengkristal sampai proses pendirian PKB oleh Tim Kerja PBNU.

Setelah dideklarasikan pada 23 Juni 1998, Kiai Cholil menjadi salah satu tokoh penting dengan menjabat Wakil Ketua Dewan Syuro DPP PKB, mendampingi KH Maruf Amin sebagai Ketua Dewan Syuro dan Ketua Dewan Tanfidziyah Matori Abdul Jalil.

Deklarasi dilakukan di rumah kediaman Ketua Umum PBNU kala itu, KH Abdurrahman Wahid. Beberapa tokoh seperti KH Ilyas Rukhiat, KH Munasir Ali, KH Mustofa Bisri, dan KH Muchit Muzadi ikut hadir dan menyaksikan deklarasi tersebut.

Dalam perkembangannya, relasi dalam jagat politik internal di partai itu tak melulu mulus. Sesekali terdera konflik, atau mungkin ketegangan yang meruncing.

Mengenai khittah dengan segala tarikan tafsir politiknya sampai detiki ini, melulu menemukan irisan silsilah dengan peristiwa masa lalu. Boleh jadi, setelah kehendak K.H.R As’ad Syamsul Arifin menaruh kepercayaan pada Gus Dur untuk mentahfidzkan hasil keputusan Muktamar 1984.

Menyiarkan apa yang kemudian dipercaya bahwa NU akan mampu mengangkat dirinya menjadi yang “didengar”, “diikutkan”, “dibutuhkan” dan “dilibatkan” di setiap saat. Sampai-sampai NU menyediakan diri menanggung risiko sebagai yang mem”perkaya” firqah dan sulit menghindarkan saling suudhon diantara kepentingan-kepentingan.

Kendati dengan segala keistimewan dan pendekatan – meminjam bahasa Kiai Cholil – karep-karepmu kono, Gus Dur berhasil menyiarkan khittah ke pelosok tanah air, dengan menumpuk dirinya pada peluh kesepian yang basah.

Kesepian itu yang kemudian menemukan maknanya dalam tirai Sejarah PKB: Menokohkan Gus Dur, Lalu Dikuasai Cak Imin (baca: tirto.id)– atau mungkin ada padanan lain terkait ini yang bisa menjabarkan “khittah yang belum selesai”.

Tetiba muncul satu parodi terkenal yang dimiliki Kiai Cholil mengenai NU dalam politik, yaitu “NU sering diidoni (diludahi)”. Parodi itu, terngiang-ngiang lalu menghantarkan kepala membentur riuh usia 25 tahun, di Solo kemarin. Kembali, bukan hanya Gus Dur, tapi juga khittah itu nyatanya, dilanda kesepian.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button