Opini

Moderasi Beragama: Upaya Membangun Ruang Hidup Manusia

PERADABAN.ID – Secara etimologi, moderasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pengurangan kekerasan atau penghindaran keekstriman. Dalam bahasa Inggris moderasi berasal dari kata “moderation” yang berarti sikap sedang atau tidak berlebihan. 

Moderasi atau perilaku moderat sendiri selalu dikampanyekan menjadi salah satu karakter kehidupan sosial dan keagamaan warga Ahlussunnah Wal Jamaah An Nahdliyah dengan sebutan Tawasuth atau jalan tengah, tidak ekstrim kiri maupun ekstrim kanan. 

Kita sudah sering melihat dan mendengar jargon “NKRI harga mati” baik secara langsung maupun dari saluran informasi. Terutama dari aktivis Nahdlatul Ulama, sahabat-sahabat Ansor-Banser dan sebagainya yang sudah jelas komitmennya untuk Negara. 

Menurut hemat penulis jargon tersebut tidaklah berlebihan, sebab Negara Kesatuan Republik Indonesia sendiri didapatkan dari perjuangan mati-matian oleh para pahlawan. Jadi harga mati itu merupakan sebuah jargon kewajaran bukan jargon keekstriman. 

Baca Juga

Berkenaan dengan status moderasi sebagai harga mati, mari kita simak kaidah fiqih berikut ini ;

وَسَائِلُ الأُمُوْرِ كَالمَقَاصِد

Artinya; “Hukum perantara sama dengan hukum tujuan”

مَا لاَ يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

Artinya ; “Perkara wajib yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka perantara itu menjadi wajib.”

Nah, Karena keutuhan NKRI adalah harga mati, sedangkan moderasi adalah salah satu perantaranya maka moderasi pun adalah harga mati, sebab tanpa moderasi NKRI tidak akan terjadi. Bagaimana tidak?, mari menilik peristiwa  Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945. 

Pada saat itu sila “Ketuhanan, dengan kewajiban melaksanakan  syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menimbulkan kontroversi di kalangan umat agama lain. Kalangan Protestan dan Katolik sangat berkeberatan dengan bagian kalimat  tersebut, sebab “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” hanyalah untuk mengikat umat Islam saja, bukan mengikat mereka, padahal mereka ingin terikat bersama sebagai rakyat yang membangun Indonesia. 

Baca Juga NU Selamanya, Olimpiade dan Impian-impian yang Sakit

Jika sila itu tidak diubah maka itu dianggap sebagai “diskriminasi” terhadap golongan mereka. Disebutkan dalam buku autobiografi Bung Hatta disebutkan bahwa jika “diskriminasi” itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia. 

Setelah itu terjadi dialog kembali dan disepakati bunyi sila pertama “Ketuhanan, dengan kewajiban melaksanakan  syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti dengan “Ketuhanan yang maha Esa” lalu semua kalangan menerimanya. Inilah pentingnya moderasi. 

Para “Bapak Bangsa” melalui Piagam Jakarta sudah mengajarkan kepada kita yang hidup hari ini untuk mengakomodir semua pihak dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara atau sebagai warga negara, tidak ada perbedaan hak dan kewajiban berdasar agama. Semua sama di mata Negara. 

Dalam konteks ekonomi, bekerja dengan yang berbeda agama tidak menjadi masalah. Konteks politik pun sama. Bahkan ada kewajiban untuk untuk tetap komitmen terhadap kesepakatan-kesepakatan politik yang sudah dibangun walau dengan yang berbeda agama. 

Baca Juga

Namun dari generasi-generasi masalah agama di Indonesia masih saja selalu terjadi. Tidak heran, sebab masyarakat akan reaksioner ketika dihadapkan dengan isu-isu antar agama. Hal ini tentu saja menjadi bola api yang akan menarik untuk dimainkan pihak yang ingin merusak Negara ini. 

Sebagai generasi muda, kita hari ini harus selalu bersikap moderat terhadap isu apapun terlebih lagi isu agama dengan meyakini penuh kebenaran agama sendiri dan menghargai, menghormati penganut agama lain yang mereka yakini, tanpa harus membenarkannya. Menyangkal pihak-pihak yang selalu menolak moderasi agama dengan alasan moderasi akan membenarkan keyakinan semua agama. Bukan seperti itu. 

Moderasi beragama bukan sikap membenarkan semua agama. Bukan pula mendangkalkan keyakinan masing-masing. Moderasi beragama justru memberi kedewasaan dan kesadaran atas berbagai ruang hidup manusia. Kita menjadi paham dimana dan kapan saatnya untuk mengedepankan agama dan kapan saatnya mengedepankan manusia. 

Oleh: Muhammad Dyma Izzaka, Kader PW Ansor Jawa Tengah

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button