Berita

Kiai Mas Alwi, Pemberi Nama NU, dan Kecurigaannya terhadap ‘Renaisans’ Islam

PERADABAN.ID – KH Faqih Maskumambang (Gresik) mengusulkan nama Nuhudlul Ulama. Usulan lain datang dari Kiai Mas Alwi, sapaan akrab Sayid Alwi Abdul Aziz al-Zamadghon, yaitu Nahdlatul Ulama.

“Kenapa ada Nahdlah, kok tidak Jam’iyyah Ulama saja?” tanya KH Hasyim Asy’ari menanggapi.

“Karena tidak semua kiai memiliki jiwa nahdlah (bangkit). Ada kiai yang sekedar mengurusi pondoknya saja, tidak mau peduli terhadap jam’iyyah,” Kiai Mas Alwi menjawab.

Nama Nahdlatul Ulama disepakati secara resmi untuk organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang lahir di Surabaya, pada 16 Rajab 1344 H silam itu. Tepat sebentar lagi, genap berumur satu abad.

Dibalik kebesaran nama NU, berdiri sosok kiai yang mungkin terselip dalam lipatan sejarah. Tak banyak yang mengenalnya kendati perannya begitu luhur. Penamaan atas organisasi yang mempunyai peran sejarah, tidak hanya untuk warganya, tetapi juga negara, bangsa dan kemanusiaan.

Baca juga:

Nasib nahas, pernah merengkuhnya. Kiai Mas Alwi dijauhi keluarga, sahabat, dan tetangganya akibat tempatnya bekerja menjadi stigma seabrek maksiat di zaman itu. Perjudian, tempat mabuk, dan lainnya lazim terjadi di pelayaran milik Belanda dan Perancis. Hingga akhirnya, harus diusir dari rumah dan terlempar dari silsilah keluarga.

Saat bekerja di pelayaran inilah, beliau mengulik renaisans. Dan lebih jauh lagi, Kiai Mas Alwi memperistri orang Eropa yang sudah diislamkan untuk lebih mengenal hakikatnya, juga mendalaminya melalui bacaan-bacaan di perpustakaan Belanda.

Terlebih, Islam modernis yang mengadopsinya. Pun adik sepupunya, Kiai Mas Manshur, yang mengagungkannya, sampai-sampai harus berangkat ke Mesir belajar di Al-Alzhar mendalami pemikiran Muhammad Abduh melalui perantara Rasyid Ridha.

Selang mempelajari renaisans di Eropa, Kiai Mas Alwi kembali ke Hindia Belanda dengan status yang masih tidak berubah. Terlanjur terstigma jelek lantaran tempat beliau bekerja, membuatnya berjualan kecil-kecilan di Jl Sasak, tidak terlampau jauh dari Kawasan Ampel untuk menyambung hidupnya.

Adalah KH Ridwan Abdullah yang menemuinya saat mengetahui kepulangan Kiai Mas Alwi. KH Ridwan Abdullah adalah sahabatnya saat nyantri di bawah asuhan Syaikhona Kholil, bersama juga KH Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syansuri.

“Kenapa Kang, sampeyan datang ke sini, nanti sampeyan akan dicuci pakai debu sama kiai-kiai lainnya, sebab warung saya ini sudah dianggap mughalladzah,” nasehat beliau, dikutip dari buku Muassis NU: Manaqib 26 Pendiri Nahdlatul Ulama.

Nasehat itu terlontar karena khawatir terhadap sahabatnya dicap sama dengan beliau. Percakapan keduanya berlanjut mengenai renaisans, yang dibawanya ke dalam diskursus Islam.

Bahwa melalui amatannya, semangat renaisans sebagaimana terjadi di Eropa sebagai gerakan intelektual, rentan jika diletakkan dalam Islam. Pembaharuan Islam yang didengungkan di Mesir itu, sudah tidak utuh lagi, tercampur kepentingan dibawa makelar.

Percakapan mengenai renaisans selesai, KH Ridwan Abdullah mengajaknya untuk kembali membantu menghidupkan Nahdlatul Watan. KH Wahab Hasbullah, kadung lebih aktif di Taswirul Afkar.

Benar saja keesokan harinya, Kiai Mas Alwi sudah lebih awal tiba di Nahdlatul Watan ketimbang KH Ridwan Abdullah.

“Kok sudah ada di sini?” tanyanya.

“Ya, Kang Ridwan, tadi malam ternyata warung saya laku dibeli orang. Ungnya bisa kita gunakan untuk kebutuhan madrasah (Nahdlatul Watan) ini,” jawab Kiai Mas Alwi.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button