Opini

PBNU Menolak Lemot!

PERADABAN.ID….ini adalah gestur bahwa pengurus tanfidziyah adalah mereka yang siap berlari-lari ke sana-kemari, memanjat dan turun di berbagai medan untuk bekerja keras demi menjalankan tugas-tugasnya. Selain itu, untuk menegaskan bahwa tanfidziyah ini sekadar pegawainya syuriyah…..

– Yahya Cholil Staquf (detik.com, 25 Maret 2022)

Penegasan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) beberapa pekan lalu, menimbulkan tanda tanya. Bukan soal hubungan NU dengan Partai Politik, atau lamanya beliau tidak satu forum dengan Rosi Silalahi salah satu reporter senior Kompas TV. Melainkan, tentang larangan menggunakan sarung, iya sarung!

Tepatnya saat Rapat Kerja Nasional (Rakernas) dan Pengukuhan Lembaga/Badan Khusus PBNU masa Khidmah 2022 – 2027, di Tasikmalaya, Jawa Barat (Maret, 2022) penegasan itu dilontarkan. Yahya Cholil Staquf atau akrab disapa Gus Yahya, menegaskan bahwa pengurus tanfidziyah diminta memakai celana panjang dan tidak menggunakan sarung.

Jika dimaknai secara tekstual, pernyataan tersebut menimbulkan kebingungan. Bahkan bisa menggeret pemahaman sekaligus laku yang subversif. Bagaimana tidak, masyarakat NU yang notabene tradisionalis, dengan corak paling menonjol peci-sarungan, tiba-tiba dilarang. Apalagi, trend sarung kini kian mengikat dan fashionable bukan? sarung batik misalnya.

Akan tetapi, pendapat di atas dilontarkan di dalam forum, bukan pernyataan yang sifatnya luas. Pun dengan tegas, ada garis tebal, yakni untuk pengurus tanfidziyah. Sekali lagi, diperuntukkan untuk jajaran tanfidziyah. Bukan untuk petani, nelayan dan lainnya. Waktu dan tempatnya pun tidak sumir.

Baca Juga: Berita dan Informasi Gus Yahya Terbaru

Sehingga, pendapat penegasan ini menjadi berbeda jika dimaknai secara kontekstual. Menjadi syarat makna. Menjadi penegasan yang reflektif sekaligus penuh motivasi.  

Di beberapa laman media memang sudah dijabarkan alasan dari pendapat di atas. Pertama untuk mendorong pengurus agar gesit dalam kerja-kerja organisasi. Siap berlari, siap memanjat dan turun di segala medan untuk kemaslahatan.

Kedua, memperjelas sekaligus mempertegas bahwa jajaran tanfidziyah tidak lebih bawahan syuriyah. Satu potret hierarki-fungsional dalam jami’iyah NU, yakni pimpinan tertinggi organisasi adalah syuriyah, sementara tanfidziyah menjadi tangan-tangan implementatif organisasi. Menggaransi bahwa tugas-tugas mulia NU, dilaksanakan dengan penuh ketakdziman, disiplin dan tanggung jawab.

Maka sangat jelas, penegasan di atas mempunyai makna yang cukup luas sekaligus progresif. Kita semua sadar, bahwa dunia terus bergerak. Bergeser dengan cepat. Implikasinya, tantangannya akan beragam.

NU sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan tentu mempunyai mandat tanggung jawab yang juga besar. Ia harus mewujudkan kemandirian, membangun inovasi dan kreativitas. Membangun iklim kondusif sekaligus inklusif. Jutaan jamaah, intitusi Pendidikan dan Kesehatan yang asosiatif dengan NU, harus dipastikan dijalur yang penuh manfaat dan memberikan kesejahteraan.

Gus Yahya tampaknya sedang mengingatkan kepada jajarannya, bahwa NU harus mampu menjadi pelecut dan penentu perubahan, tidak hanya mengikuti perubahan zaman yang cepat, apalagi mengekor.

Barangkali kita saat ini menghadapi sekaligus dimanjakan digitalisasi di segala aspek. Keterjarakan bukan lagi persoalan yang rumit dan mustahil. Semua serba cepat dan efisien dengan bantuan teknologi informasi.

Baca Juga: Keluarga Global

Sekarang, 10 sampai 100 tahun ke depan tentu saja format dunia akan berubah. Perkembangan teknologi telah menggeser aras sejarah sekaligus peradaban. Menjadikannya tidak menentu.

Dan Gus Yahya, menangkap sekaligus merespon itu dengan cepat. Mewanti-wanti dan mendorong kecakapan pengurus untuk adaptif.

Dengan modal yang besar, jumlah keanggotaan, jaringan yang luas, modal kultural yang mengakar serta kekayaan khazanah keilmuan, bukan tidak mungkin NU akan selalu eksis sekaligus menjadi pelopor perubahan.

Asalkan, tanfdziyahnya melepas sarung, yakni gesit dan adaptif, bergerak dan bekerja sesuai garis organisasi; untuk NU, Agama dan Negara.

Pelan-pelan penulis mengamini, bahwa di masa Khidmah 2022 – 2027, PBNU menolak lemot. Semuanya harus sat set sat set!

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button