Berita

Dari Es Campur hingga Peninjau, Kisah Pergulatan Gus Yahya dalam Ber-NU

PERADABAN.ID – Usia Gus Yahya baru menginjak kelas 1 Sekolah Menengah Pertama (SMP) saat berada di tengah helatan Muktamar ke-26 Nahdlatul Ulama di Semarang. Kartu biru bertuliskan “PENINJAU”, membuatnya gagah masuk ke arena sidang pleno.

“Apa ini anak kecil ikut-ikutan?!” Penjaga pintu dengan rambut terurai gondrong, mencegatnya dengan galak.

Sejurus, Gus Yahya menunjukkan kartu yang diberikan Ayahandanya itu.

“O, peninjau to,” lalu membiarkan Gus Yahya masuk. Suara galak Penjaga redam merendah.

Cerita ini, barangkali sepenggal kisah dari pergulatan Gus Yahya dalam agenda-agenda NU. Ke belakang lagi, tepatnya di tahun 1971, saat Gus Yahya berusia 5 tahun, sang ibu telah mengajaknya menghadiri Rapat Akbar Partai Nahdlatul Ulama.

“Jurkamnya Kiai Idham Chalid, Ketua Umum PBNU waktu itu, dan Kiai Bisri Mustofa, kakek saya sendiri,” cerita Gus Yahya dikutip dari buku Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama.

Baca juga:

Di pinggir alun-alun, lanjutnya, di sudut luar halaman masjid agung, Ibu mengajak saya bersama dua orang adik perempuan saya – yang kecil masih di gendongan – berteduh di emperan warung Pak Mad yang jualan es campur.

“Ayah saya tak terlihat, larut di tengah kerumunan massa di alun-alun,” kenang Gus Yahya, selain es campur Pak Mad yang berisikan kelapa muda, nanas dan tape singkong.

Hanya di Cipasung, Gus Yahya tidak merampungkan seluruh rangkaian helatan. Dirinya, kurang dari setengah jam, harus buru-buru meninggalkan lokasi acara setelah mendengar kabar pamannya Kiai Adib Bisri dan Kiai Umar Faruq Chamzawi, mengalami kecelakaan.

“Kedua-duanya wafat akibat kecelakaan itu,”

Seperti dalam keyakinan yang lain, bahwa jati diri seseorang dibingkai oleh kebudayaan, realitas sosial di sekitarnya, pun Gus Yahya. Bahkan sebelum adanya kesadaran akan identitas itu sendiri, dalam hubungannya dengan NU, kaitan dengan diri dan identitas, menurutnya adalah bagian dari ikhtiar memburu makrifat. Dirinya berstiteguh pada NU sebagai identitasnya.

“Karena NU adalah identitas saya, maka tidak mungkin saya mencapai makrifat diri (ma’rifatun nasfs) tanpa makrifat NU (ma’rifat jam’iyyah),” tuturnya.

Husnul khotimah saya, menurut Gus Yahya, adalah apabila saya mati dalam keadaan telah memahami hakikat NU.

“Kalau tidak, alangkah canggung sekali nanti menghadap Tuhan tanpa mengerti siapa diri saya ini.”

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button