Opini

Pengorbanan

PERADABAN.ID Dan siapa yang lebih baik (laku) keagamaannya ketimbang orang yang menyerahkan wajahnya kepada Allah, sedang dia berbuat (baik) lebih dari semestinya dan mengikuti tempuhan (jalan/syariat keagamaan) Ibrahim yang lurus. Dan Allah menempatkan Ibrahim sebagais kekasih (QS. 4:125).

Nabi Ibrahim yang menjadi bapak dari nabi-nabi, memberi teladan gambling kepada “anak-anak”-nya yang kemudian memimpin dan menjadi panutan umat beragama di seluruh dunia. Nabi ‘Uzair, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad, pembawa agama Yahudi, Nasrani, dan Islam. Agama langit yang diakui dunia adalah putra-putra Ibrahim. Nabi Ibrahim yang dijuluki Khalilullah, pantas menjadi kekasih Allah, karena beliau telah berhasil mengatasi galau perasaannya untuk hanya memenuhi perintah Allah. Beliau telah dengan tegar “menaklukkan basyariyah” (kemanusiaannya) demi kehambatannya kepada Allah. Sebagai manusia kecintaannya kepada putra berjuang dan bekerja, tentu mengalahkan segalanya. Namun, begitu turun perintah menyembelih putra kekasihnya, beliau dengan tulus melaksanakan perintah itu: “Apa pendapatmu?” dan Ismail dengan mantap menjawab: “If’al ma tu’mar, satajiduni insyaAllahu min ashshabirin, kerjakan saja apa yang diperintahkan (oleh Allah). Bapak akan mendapatiku bersabar sebagaimana orang-orang bersabar.

Baca juga:

Keduanya telah meneladankan bagaimana seharusnya sikap penghambaan itu. Mengalahkan tuntutan kemanusiaan dan memenangkan kehambaan adalah pengorbanan. Mengalahkan kepentingan yang satu dan memenangkan yang lain adalah ngorbanan. Mengorbankan kepentingan pribadi demi capaian yang lebih besar dan luas, memang bukan pekerjaan mudah. Diperlukan ketulusan mengabdi yang dalam. Pengabdian yang mampu mengalahkan kepentingan, seperti dicontohkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.

Pengabdian bersifat transendental itulah hakikat keimanan; keimanan yang ditandai dengan sikap siap berkorban. Kurban, yang apabila diasalkan akan tereja “qurban”, mempunyai konotasi makna “dekat”. Dengan demikian, pengorbanan adalah pendekatan. Pendekatan makhluk-manusia yang hamba Allah kepada Allah, akan mewujudkan kasih Allah yang mampu menangkal segala rubeda. Kedekatan dengan Allah berarti menjaga diri dari kemungkinan deraan kesengsaraan, karena tentu Allah tidak akan membiarkan yang dekat dengan-Nya menderita. Ma kanalahu liyadzaral mu’minin”, Allah sama sekali tidak akan membiarkan orang-orang beriman, dst. (QS. 3: 179). Ayat ini biasa diterjemahkan “Allah tidak mungkin meninggalkan orang mukmin”. Karena, dibawa dawuh Gusti ini menggunakan “kana manfi” dan “lam juhud”, yang harus berarti tidak pernah terjadi (pengabaian terhadap orang beriman oleh Allah). Mukmin yang tidak “dibiarkan” sengsara oleh Allah adalah yang dengan imannya mampu mendekatkan kepada Allah. Mendekatkan diri yang ditengarai dengan kemauan untuk memenangkan penghambaan dari pada kepentingan. Mengorbankan kepentingan demi penghambaan, pengadian.

Andai ada yang mengatakan bahwa kita, bangsa ini, seperti dibiarkan oleh Allah dalam kecarut-marutan sehingga harus mengalami kesengsaraan dan derita berkepanjangan, barangkali tidak salah benar. Karena kita telah berada pada posisi jauh dari Allah dengan aneka kengawuran dan keengganan mengabdi secara tulus yang ditengarai oleh keberatan berkorban. Keengganan dan keberatan saja menjadi pertanda ketipisan iman.

Baca juga:

Keimanan yang identik dengan kecintaan itu sebenarnya menuntut pengorbanan, seperti yang diperagakan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Seberapa besar pengorbanan yang diberikan menjadi ukuran sebesar apa iman dan cinta kita terhadap sesuatu diikrarkan. Iman kita kepada Allah dan cinta kita kepada tanah air, perlu dites ulang.

Oleh: KH. M. Cholil Bisri (disarikan dari buku Ketika Nurani Bicara)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button