Opini

Situasi ‘Alami’ PKB dan Mucikari Ideologi

PERADABAN.ID – Menyajikan sempalan sejarah dalam bentang perjalanan NU dan politik (utamanya PKB), ujungnya hanya akan menjelaskan kekerdilan, parsial, dan banalitas sang ‘pengamat’.

Semisal paradigma politik NU setelah reformasi dengan menukil kebijakan kepemimpinan Kiai Said Aqil di tahun 2019 semata. Tapi di sisi yang lain, melupakan kepemimpinan selain Kiai Said dalam bentang periodik setelah reformasi. Sebagaimana tertuang dalam artikel Menjahit ‘Luka’ dengan Ukhuwah Islamiah, atau MLB NU.

Sebab dalam perjalannya, anggaplah kepemimpinan Kiai Hasyim Muzadi, juga tidak ‘enak mata’ melihat hubungan NU dengan PKB. Beberapa pernyataannya bahkan lebih tajam.

Pada tahun 2005 beliau menyatakan NU tidak mempunyai urusan lagi dengan PKB (korantempo.co), pada tahun 2008 Kiai Said mengatakan bahwa komunita politik yang dibidani kiai itu menjadi macet (NU Online), di tahun 2014 Kiai Hasyim Muzadi menilai PKB sebagai partai yang bersatu tapi mandul setelah Muhaimin Iskandar terpilih kembali secara aklamasi (republika.co.id).

Apakah pernyataan Kiai Hasyim Muzadi mengenai relasi NU-PKB tidak mendapatkan tanggapan? Tentu saja ada yang menyanggahnya. Gus Dur sangat keras dalam dua tulisannya seperti NU, PKB, dan Pemilu 2004 serta NU, Lain Dulu Lain Sekarang. Alasannya sederhana, keterlibatan Kiai Hasyim Muzadi yang ikut terlibat dalam kontestasi Pemilu 2004.

Secara objektif, tulis Gus Dur, tidak ada kesimpulan lain di luar kenyataan bahwa Ketua Umum PBNU itu tidak ambil pusing dengan “nasib politik” tokoh-tokoh tersebut. Kesimpulan lain adalah, bahwa Ketua Umum PBNU itu hanya memikirkan nasib politiknya belaka; menjadi calon presiden ataukah tidak dalam pemilu 2004.

Posisi NU dalam pandangannya jelas, tidak diperbolehkan menjadi karpet merah ‘kepentingan elit politik’ dengan mengkerdilkan yang lain. Yang diketengahkan adalah keberatannya terhadap ambisi politik tertentu dengan mendayung NU sebagai sekocinya.

Lalu, apakah salah mengusulkan MLB? Sebagai reaksi subjek demokrasi, itu sah-sah saja, dengan tetap – meminjam bahasanya Rais Aam PBNU – ada cara dan mekanismenya.

Saya melihat, adalah alasan dan ulasan subtansi MLB yang dikemukakan sangat tendensius. Pertama, histori politik NU pasca reformasi tidak dijelaskan secara komprehensif. Ada tendensi mensimulasi kepentingan politik PKB melalui legitimasi kepemimpinan NU di era Kiai Said Aqil.

Hemat saya, komparasi ini bukan merupakan tujuan yang kasat mata mengenai ukhuwah islamiah, melainkan penggiringan opini publik ke arah polarisasi di lingkungan NU. Untungnya, dalam Munas Konbes kemarin, direspon dengan arif dan bijaksana.

Inilah yang meneguhkan kebenaran kepemimpinan Nahdlatul Ulama dibawah Kiai Miftachul Akhyar dan Gus Yahya untuk menjaga jarak dan tidak diperbolehkan penyematan atribusi NU dalam citra politiknya. Pernyataan yang relevan dengan adagium NU tidak ke mana-mana tapi di mana-mana.

Demikian juga dalam rekomendasi Munas dan Konbes NU juga membulatkan sikap PBNU mengenai politik. Bahwa, tidak ada dukungan terhadap satu partai, terkecuali untuk dukungan yang mengarah pada nilai yang diperjuangkan, bukan pada siapa yang akan menjadi kontestan.

Artinya bahwa, faksionalisme politik dalam tubuh NU sudah menjadi hal jamak, dan tidak perlu dihiraukan karena intensitas, kecerdasan dan kecapakan politik warga serta kader NU sudah rasional. Di sinilah rekam jejak dan gagasan kontestan dipertaruhkan.

Jika pun, menurut penulis Menjahit ‘Luka’ dengan Ukhuwah Islamiah, MLB NU ujung dari jalan peralihan kepemimpinan dalam muktamar di Lampung kemarin sebuah luka politik sejarah NU, saya melihatnya berbeda.

Saya melihat alasannya tidak lebih sebagai kekecewaan politik belaka. Kedewasaan yang tidak tumbuh akibat watak minimalis politiknya. Sebab hakikatnya, dari Muktamar ke Muktamar di tubuh NU bahkan sejak Muktamar di Menes, sejarah memperlihatkan yang begitu alot dan dramatis, bahkan penuh pergolakan. Tetapi selalu dalam tangkup kebajikan.

Baca juga:

Dilansir dari Fragmen-fragmen Muktamar NU dari Era Kolonial hingga Milenial, Muktamar ke-13 di Menes Banten pada tahun 1938 yang mendorong usulan agar NU menaruh wakilnya di Volksraad (dewan rakyat), juga ditolak. Muktamar ke-19 di Palembang pada tahun 1952 yang menjadi titik penting keluarnya NU dari Masyumi, lalu menjadi partai sendiri. Pada Muktamar ke-27 di Situbondo pada tahun 1984, NU kembali ke Khittah 1926.

Termasuk juga Muktamar 1994 yang masih sangat basah dalam ingatan warga NU. Yang membuat MLB pada 1996 dilakukan oleh kubu Abu Hasan yang didukung oleh kekuatan politik penguasa waktu itu. Dan hasil MLB ini, tertelan oleh lautan ketidakpercayaan warga dan kiai NU terhadapnya

Lantas, adakah yang menuding hasil Muktamar di atas sebagai ‘luka’? Akan ada jawaban bermacam-macam. Tetapi yang pasti, barangkali dalam pandangan awam penulis, tidak ada yang menganggap peralihan kepemimpinan NU itu sebagai ‘luka, apalagi hanya lecet’. Karena, itulah forum tertinggi dan sakral yang diyakini dan diakui dalam lingkungan NU, sebagai panggung transisi kepemimpinan, dengan mengacu pada tata administrasi organisasi dan dukungan para kiai alim ulama.

Situasi Alami PKB

Thomas Hobbes (baca: Transpolitika) memberikan ilustrasi sejarah mengenai tradisi di Persia. Saat raja mangkat, rakyat menjalankan ketiadaan hukum yang berlaku di masyarakat selama 5 hari. Keadaan alami ini, menimbulkan kekacauan, perampokan, penjarahan, pembunuhan, suatu keadaan alami yang begitu gelap.

Dan mungkin demikianlah juga keadannya sekarang. PKB saat ini mengalami situasi alami yang gelap. Tidak mempunyai ‘hukum’ PBNU dengan ditandai pengembalian tata organisasi dan paradigma politik sesuai Khittah 1926.

Dan sepertinya itu benar adanya, banalitas politik terjadi. Salahsatunya, dengan membangun proyek hibridasi ideologi dengan kelompok kanan, kelompok yang mendulangi kiai dan warga NU, termasuk ornamen dan atribusi kultur NU, dengan cacian bid’ah, kafir dan hal lainnya yang menjijikkan.

Baca juga:

Tetapi, di tengah masa alami itu, saat mereka sedang melansungkan self-preservation – situasi alami yang medorong homo homini lupus – juga menjadi tahu dan andal dalam menjaga keberlansungan mereka. Dan mungkin saja, kalau tidak keburu menyimpulkan, perlulah PKB memikirkan Muktamar Luar Biasa sebab situasi alami sudah terjadi dan diperlukan pembaruan menata tertib politik dan organisasinya.

Toh selain mandul kata Kiai Hasyim Muzadi, juga sudah menjadi mucikari ideologi dalam helatan elektoral 2024 mendatang.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button