NU Kind

PERADABAN.ID – Pulau ‘Ata, dalam sebuah cerita, tidak sempat menjelaskan kedok surgawi; surga tropis dengan nyiur melambai dan pasir putih, melainkan gundukan batu besar, mencuat ratusan meter di samudera – dalam buku Human Kind.
Tetapi dalam sekejap, pulau itu menjadi pantulan yang berbeda – saat sejumlah remaja terdampar ke tepi. Anak itu mendirikan komune kecil dengan kebun bahan makanan, balok kayu yang dijadikan wadah penampung air hujan, tempat olahraga angkat beban, lapangan bulu tangkis, kandang ayam, dan perapian, semuanya dikerjakan dengan tangan, hanya satu pisau tua, kerajinan – terang Kapten Werner.
Hari-hari mereka berawal dan berakhir dengan nyanyian dan doa – tulis Bregman. Barangkali, komune kecil itu telah membuat satu kebaikan di tengah lingkungan alam yang tidak bersahabat dan bersahaja.
Salah satu di antaranya, bisa jadi kerap mengatakan ‘Ayo baikan’ saat ada di antara dua temannya saling berselisih. Atau mungkin, ‘Bantulah dia membuat rakit’ ujar salah satunya – kala hujan mulai deras turun dan angin mulai terlihat membentuk badai.
Baca juga:
Kisah-kisah demikian terlihat agak egois. Bagaimana mungkin, ada sekumpulan manusia yang tergeletak di tengah himpitan yang nyata, masih saja saling menguatkan untuk meringankan penderitaan.
Mustinya, mereka menjadi sapiens yang saling melumat satu sama lain. Anggaplah jika, semua percaya bahwa kita leviathan sebagaimana Hobbes memaparkan. Kendati Hobbes, tidak sempat dikubur dan justeru paling dikenal dari pada yang mencaci dan mencibir pendapatnya – setidaknya sampai sekarang.
Suatu pulau-pulau yang terbungkus dalam perbedaan-perbedaan runcing – bahasa, warna kulit, kontras busana dan lain sebagainnya. Lalu disusul dengan bilik-bilik paradigmatik yang tampak nyata, realistis mungkin harusnya, menjadi tempat neraka berkecamuknya saling melempar panah.
Tetapi buktinya tidak. Pulau-pulau itu tidak hanya disatukan air yang melimpah dan saling mengaliri, mereka tidak saling merebut daratan paling dekat dan kaya. Justeru di antaranya malah saling hidup berdampingan.
Kisah-kisah lama – konon, para pemimpin di awal revolusi silang pandangannya tak karuan. Elit-elitnya mempunyai ide yang sama hebatnya, dan masing-masing, berbeda. “Nusantara” seperti ajakan “Ayo baikan” dari yang bertikai. “Halal bihalal” seperti tikar yang melebur tengkar.
Sampai sekarang, yang mayoritas juga tak sempat memikirkan bagaimana menaklukkan. Sereceh percikan, tak berselang lama, nafas-nafat pengingat yang menghembuskan perjuangan muncul memikul wasilah persatuan.
Gelanggang keagamaan, yang waktu itu sedang memunculkan keinginan supremasi, berhasil dilenturkan. Sedemikian kuat pengaruh Saudi, disusul cakap-cakap puritanisme. Masih terdapat kelompok yang baik menawarkan ‘jalan tengah’.
Nahdlatul Ulama, bukan nyiur melambai yang sudah disediakan kesuburan tanah Indonesia. Bukan pula, rakit-rakit yang disusun untuk membawa sekolompok orang di tengah gelombang yang mulai menandakan tsunami.
Baca juga:
NU, adalah kesadaran mulia nan rasionaL; yang menghubungkan perbedaan-perbedaan – dari jenis agama, bangsa dan manusianya. Ia memang melengkapi segala kebutuhan yang tidak terpikirkan.
Saat semuanya sudah merengsek ke ‘kemurnian’, dia teduh merangkul eksisnya budaya yang sudah sejak lama ada. Saat ada yang ingin mengekslusifkan ‘islam’ di batang ideologi Pancasila, dia berdiri di atas yang beragam. Banyak hal lainnya, sampai sekarang, yang masih belum selesai untuk peradaban.
Tetapi hingga saat yang belum kita ketahui kapan, kelak datangnya tiba-tiba atau masih jauh dari kelopak mata, NU masih mengihktiarkan kemuliaan luhur, tidak hanya untuk Indonesia, tetapi manusia dan juga segala jenis bangsanya.