Murur dan Rekognisi Pelaksanaan Ibadah Haji Masa Depan
PERADABAN.ID – Pelaksanaan puncak ibadah haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna) merupakan titik krusial dari seluruh rangkaian ibadah haji. Selain menjadi puncak prosesi ibadah haji, Armuzna bisa menjadi tolak ukur dari berhasil dan tidaknya penyelenggaraan haji.
Salah satu proses penting saat menjalankan ibadah di Muzna adalah pererakan jemaah haji menuju Mina. Setelah melakukan wukuf di Arafah, jemaah akan mabit (bermalam) di Muzdalifah, dan melanjutkan perjalanan menuju Mina. Di titik ini, area Muzdalifah akan menjadi lautan manusia. Para jemaah akan berdesak-desakan, berjalan menuju Mina. Sementara bagi Indonesia, terdapat jemaah dengan jumlah besar yang tergolong kelompok risiko tinggi (risti), sakit, dan disabilitas.
Belajar dari pelaksanaan Ibadah Haji tahun 2023, Indonesia mempunyai pengalaman penting dan evaluatif. Pertama, setiap jemaah mempunyai space 0.43 m2 dari luas area Muzdalifah yang hanya 82.350 m2 . Semakin kecilnya space ini dikarenan ada tambahaan jemaah haji yang mencapai angka 8.000 dan sebagaian jemaah (27.000) ditempatkan di mina jadid.
Pada tahun 2024 jemaah haji Indonesia kian bertambah. Sementara, mina jaded tidak lagi menjadi salah satu tempat bagi jemaah haji Indonesia. Dengan demikian, jemaah Indonesia seluruhnya akan menempati Muzdalifa. Tak heran, apabila Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama RI, harus menginisiasi skema-skema preventif dan bisa mengurai kemungkinan-kemungkinan persoalan yang akan terjadi. Skema inovatif sebagai langkah preventif itu, disebut murur.
Baca juga:
- Gus Men: Indonesia Dapat 221 Ribu Kuota Haji Tahun 2025
- Ayah David Ozora Unggah Pelayanan Haji terhadap Jemaah Alami Demensia, Ini Kata Netizen
Skema murur dalam prosesi mobilisasi rombongan jemaah melintasi Muzdalifah menuju Mina dinilai sebagai langkah preventif untuk mencegah terjadinya keterlambatan sekaligus menjadi upaya menjaga kesehatan jemaah dan mencegah risiko buruk lainnya (hifz al nafs), tanpa mengurangi keparipurnaan dari rukun haji.
Murur merupakan salah satu 5 skema puncak haji (empat skema lainnya adalah skema normal, safari wukuf non-mandiri, safari wukuf KKHI, dan badal haji), dimana jemaah haji yang selesai wukuf di Arafah akan diangkut menggunakan bus melintas secara pelan melewati Muzdalifah dengan berdiam di dalamnya, tidak turun.
Pengangkutan 55.000 jemaah haji melalui skema murur ini, sedikitnya mengurangi 30% pergerakan jemaah haji di Muzdalifah yang sempit di arena terbuka. City Bus dengan kapasitas sekitar 60 jemaah dijadwalkan bergerak dari pukul 19.00 WAS dan diharapkan selesai di pukul 22.00 WAS (Progres Penyelenggaraan Ibadah haji 2024 Kemenag RI).
Sah tanpa Membayar DAM
Skema melintas Muzdalifah tanpa turun untuk bermalam atau mabit memunculkan beragam pendapat dari ulama. Majelis Ulama Indonesia Ulama melalui Forum Ijtima Ulama 28-31 Mei 2024 di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Bangka Belitung menghasilkan rekomendasi kepada Kemenenag sebagai penyelenggara ibadah haji. Rekomendasi itu menyatakan bahwa jemaah haji dianggap telah melaksanakan mabit jika melaksanakan murur di Muzdalifah dengan syarat melintas Muzdalifah setelah tengah malam 10 Dzulhijjah.
Sementara, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama juga memutuskan bahwa pelaksanaan mabit di Muzdalifah dengan cara murur dapat menjadi solusi fikih atas kepadatan jamaah di area mabit jika murur di Muzdalifah melewati tengah malam 10 Dzulhijjah dan dianggap sah tanpa membayar dam (Batsul Masail Syuriah PBNU di Jakarta, 28 Mei 2024).
Keragaman pendapat terhadap satu pendekatan, dan itu baru dalam hukum Islam sebenarnya hal yang biasa terjadi. Tinggal bagaimana melakukan moderasi antara pendekatan hukum Islam dengan kondisi dan situasi yang terjadi. Sehingga dalam proses realisasinya, selalu ada kemudahan untuk melakukan ibadah, termasuk ibadah haji dalam konteks ini.
Kemudahan-kemudahan dalam menjalankan ibadah haji juga dikaji dalam fiqih tasyir. Di luar itu, para ulama seperti Zakariya al-Ansyari dalam Hayiyah al-Jamal ‘ala Syarh al-Manhaj mabit adalah wajib, namun juga ada mengatakan sunah. Pun sama halnya dalam Hasyiyah Ibn Hajar ‘ala Syarh al-Idhah, juga mengatakan ada yang wajib dan sunnah.
Taysir atau kemudahan diberikan Allah kepada umatnya supaya kita tetap tekun dan bersemangat dalam beribadah dalam situasi sulit. Al masyaqqah tajlib al-taysir, pada kaidah usul fiqih tersebut dikatakan setiap kesulitan akan menuntut kemudahan. Konsep taysir memastikan umat Islam menjalankan ibadah tanpa susah payah dalam dimensi ruang dan waktu. Dalam konteks pelaksanaan ibadah haji laa dlirara wa laa dlirara tidak membahayakan jiwa, raga, dan harta.
Penggunaan konsep murur oleh Kemenag dalam penyelenggaraan ibadah haji 2024 merupakan rekontekstualisasi hukum Islam secara adaptifdemi menjaga keamanan dan keselamatan jemaah.
Rekognisi
Dengan demikian, murur tidak hanya mendorong percepatan dari mobilisasi jemaah haji Indonesia menuju Mina. Akan tetapi, murur menjadi ruang dialektis dari pendekatan hukum Islam terhadap kondisi-kondisi pelaksanaan ibadah haji.
Murur menjadi jalan tengah mengurangi risiko-risiko yang memungkinkan terjadi sekaligus merekontekstualisasi hukum Islam untuk memudahkan jemaah haji dalam proses menjalankan ibadah (mempertahankan nilai yang lama yang masih baik dan menerima nilai baru yang lebih baik).
Baca juga: Mengenang yang Tak Beranjak Jauh
Pembaruan pelayanan ini menjadi penting dilakukan untuk menunjukkan komitmen keberpihakan pemerintah Indonesia terhadap jemaah haji. Kemenag RI terus melakukan perbaikan-perbaikan untuk mengakselerasi pelayananannya, menyajikan kemudahan demi kemudahan, memberikan kenyamanan yang maksimal bagi jemaah haji Indonesia yang jumlahnya sangat besar dengan komposisi kelompok risti, sakit, dan disabilitas.
Murur menjadi terobosan yang merekognisi pelaksanaan ibadah haji Indonesia, utamanya di Armuzna. Di mana seperti tahun sebelum-sebelumnya, kepadatan dan kerumitan yang terjadi di Armuzna sulit diurai. Melalui murur, pelaksanaan ibadah haji menjadi berbeda. Murur merubah ekosistem penyelenggaran haji untuk menjali lebih baik.
Dengan melihat keberhasilannya, skema alternatif melalui murur patut dipertahankan untuk dilakukan dalam pelaksanaan ibadah haji selanjutnya. Tanpa menutup kemungkinan-kemungkinan skema baru, yang lebih baik untuk jemah, untuk agama, untuk Indonesia.
Dan sebagai wujud apresiasi, murur menjadi kejeniusan sekaligus keaslian (genuine) yang diperagakan oleh Kemenag RI. Dalam artian, ia mampu mengurai dan mengurangi risiko-risiko selama pelaksanaan ibadah haji, dengan melakukan rekontekstualisasi pendekatan hukum Islam.
Oleh: Prof. Dr. Hepni, S.Ag., MM., C.PEM, Rektor UIN KHAS Jember
3 Comments