Opini

Moralitas yang Menyantuni

PERADABAN.ID – Meski, sejauh yang kita tangkap adalah suara-suara kecemasan, ternyata ekosistem penggalangan dana publik di Indonesia, terutama prinsip moralitas lembaga kemanusiaan, secara normatif, masih amat dibutuhkan guna mengetuk kesadaran fitri yang humanis di negeri ini.

Gerakan “NU Care” yang diinisiasi LAZISNU misalnya, telah mengetuk kesadaran fitri yang humanis. Tempo hari, gerakan donasi publik semacam itu telah menjadi perwujudan dari etos khidmah yang membentangkan marwah persaudaraan dalam arti yang paling dalam.

Charity Aid Foundation melalui World Giving Index 2008 menobatkan Indonesia sebagai negara dengan penduduk paling dermawan di dunia. Indeks penilaian itu berpatok pada tiga kriteria; mendonasikan uang, menjadi relawan dan kemauan menolong orang yang tidak dikenalnya.

Data tersebut bukan tanpa sejarah. Ada latar sosiologis yang menekan dominasi keterlibatan itu, menumbuhkan civil society di Asia mempunyai dua kaki, satunya berpijak pada masyarakat dan yang lainnya bergantung pada politik.

Hal ini menjadi penting untuk dipelajari sebagai suatu hal yang berharga. Karena gagasan dan etos kesejahteraan bersama mulanya menjadi lawan individualisme, dan kini dipelihara sebagai pilar kolektif sosial yang tidak otonom dari kekuasaan dan kekuatan negara.

Mungkin anda juga suka

Meskipun terkadang masyarakat terlalu bergantung pada kebijakan pemerintah (too much goverment) namun, sikap dan ketegasan pemerintah tetap akan menjadi acuan masyarakat dalam bertindak, terutama membangun moralitas kebajikan (social virtues). Pilar masyarakat karena itu tidak hanya organisasi, asosiasi kemasyarakatan, lebih mendasar dari itu adalah pribadi.

Dalam sejarah sosial, ada nilai-nilai yang secara esensial berbeda antara masyarakat “Barat” dengan masyarakat “Timur.”

Peradaban Barat, melalui Filsafat Yunani, dilandasi oleh semangat pencerahan yang menekankan hak-hak individualisme, sementara masyarakat Timur yang terkenal religius itu selalu menekankan nilai komunitarianisme sebagai landasan etos sosial bersama (a collectivist ethos).  

Komunitarianisme Asia adalah sesuatu yang tidak bersifat privat, tapi menjadi publik, dalam arti semua orang mempunyai potensi untuk saling membagi kebersamaan.

Dus, nilai sosial kebersamaan masih ditimpahi ujian pasca pandemi ini, tetapi di sisi lain, perilaku volunterisme (khidmah) sama nilai ganjarannya dengan ibadah. Bahwa kita yang hidup adalah hidup dalam komunitas, dimana kita berbicara dan membagi kasih sayang antar sesama sebagai perwujudan diri (self-realization) secara otentik.

Mungkin anda juga suka

Lantas, dari mana harus diperkuat etos khidmah dalam membentuk “masyarakat peduli” sekarang ini?

Dalam rangka memperkuat kembali moralitas lewat keluwesan pribadi atau kelembagaan sosial yang strategis. Pertama, adalah the family, dalam lingkungan keluarga. Ketahanan dan kesejahteraan keluarga menjadi elemen penting bagi kesejahteraan sosial.

Pendidikan nilai kebersamaan yang ditumbuhkan melalui basis keluarga sangat mempengaruhi kepribadian anggota keluarga dalam melakukan tindakan inklusif dengan berbagi kasih sayang kepada orang lain.

Kedua, lewat bahasa dan lembaga-lembaga keagamaan. Sejauh ini di kalangan lembaga agama, tradisi filantropi dan amal sedekah yang bersifat karitatif masih kuat. Pun dengan semangat voluntarisme sebagai ibadah.

Praktiknya, bahasa lembaga dalam melanggengkan tradisi filantropi itu sangat membantu kuatnya fondasi lembaga tersebut terhadap tuduhan personalisasi tertentu.

Ketiga, lembaga pendidikan seperti pesantren, madrasah dan sekolah-sekolah. Tidak sedikit, dari sekolah-sekolah yang hanya tertarik “menjual ilmu” daripada mendidik kebajikan, apalagi yang bersifat sosial.

Tidak dengan pesantren, yang mendayagunakan dua elemen penting dalam pendidikan, melalui dakwah bil lisan dan dakwah bil hal. Dua komposisi itu menjadi bekal santri dalam menjalankan khidmah mereka kepada masyarakat, terutama dalam masa-masa kabur seperti ini.

Keempat, khidmah dengan mengembangkan mutual aid and voluntary hospitals. Rumah-rumah sakit lokal yang memberikan pelayanan terhadap kelas sosial yang rentan melalui program volunter dan melalui program asuransi semacam prepaid insurance bagi masyarakat terbelakang.

Ala kulli hal, secara naluriah, krisis seringkali melahirkan sebentuk solidaritas sosial di tingkat kewaspadaan antar sesama. Mustofa Akyol menyebut fenomena ini semestinya dimanfaatkan tidak hanya untuk membangun rasa nasionalisme saja, melainkan juga solidaritas internasionalisme. Gagasan yang juga sudah lama diideasikan oleh ulama-ulama nusantara berupa trilogi ukhuwah: ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah insaniyah.

Yusuf Ali Syafruddin

Pegiat di Kajian Islam dan Kebangsaan

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button