Menyoal Usulan Kementerian Haji: Dari Pelayanan Umat hingga Eksploitasi Dana Umat
PERADABAN.ID – Usulan pembentukan Kementerian Haji dan Infak yang pertama kali dilontarkan oleh Cak Imin dari PKB, kemudian didukung oleh AMPHURI (Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia) dan Ketua MUI Cholil Nafis, tidak bisa dilepaskan dari kontroversi besar yang menyertainya.
Di balik dalih meringankan beban Kementerian Agama dan menyederhanakan penyelenggaraan haji, tersembunyi potensi eksploitasi keuangan umat dalam urusan yang seharusnya sakral ini. Pada hakikatnya, usulan ini lebih mirip dengan upaya pengambilalihan ladang basah keuangan haji dan infak, dengan cara yang halus tapi berbahaya.
Ketika AMPHURI dan salah satu Ketua MUI Cholil Nafis mendukung ide ini, mereka tampak lebih melihat haji sebagai sebuah sektor bisnis dengan nilai ekonomi tinggi. Hal ini terlihat jelas dari argumen mereka yang menyebutkan bahwa Kementerian Haji perlu menteri yang paham urusan bisnis travel haji dan umrah.
Padahal, pelayanan haji seharusnya difokuskan untuk memenuhi kewajiban agama umat Islam, bukan untuk diperlakukan sebagai komoditas ekonomi yang bisa dijadikan sumber keuntungan oleh segelintir elit politik atau pelaku bisnis.
Mendukung usulan tersebut, AMPHURI seolah mengabaikan fakta bahwa penyelenggaraan haji saat ini sudah berjalan cukup baik di bawah Kementerian Agama yang memiliki jaringan hingga tingkat kecamatan melalui Kantor Urusan Agama (KUA).
Baca juga:
- Gelar Apel Kesaktian Pancasila, Ansor Siap Kawal Pemerintahan Indonesia ke Depan
- Pakar Data Ungkap Tren Positif Layanan Haji 2024 Berdasarkan Laporan BPS
Mereka malah terkesan ingin membuka pintu bagi pseudo-swastanisasi, di mana birokrasi haji diubah menjadi mirip perusahaan biro travel skala negara. Kementerian baru ini akan berpotensi berorientasi pada profit dan keuntungan finansial, bukan pelayanan yang amanah kepada umat.
Cholil Nafis mengusulkan penggabungan antara BPKH dan badan zakat-wakaf dengan Kementerian Haji, tak pelak menambah kekhawatiran soal konsentrasi kekuasaan finansial. Bayangkan sebuah kementerian yang memiliki kendali penuh atas dana haji, zakat, infak, dan wakaf umat Islam Indonesia, tanpa ada pengawasan yang memadai.
Apakah ini bukan bentuk eksploitasi keuangan umat yang terang-terangan? Dengan posisi tersebut, kementerian ini akan menjadi sebuah entitas yang mengendalikan aliran dana umat dalam jumlah besar, tanpa checks and balances yang layak.
Lebih jauh, pendukung usulan ini sepertinya tak memahami kompleksitas penyelenggaraan haji yang sebenarnya. Mereka mengabaikan kenyataan bahwa penyelenggaraan haji melibatkan banyak instansi dan pihak, mulai dari pemerintah pusat hingga tingkat daerah, dan dari penyedia layanan di Arab Saudi hingga lembaga keuangan di Indonesia.
Mendirikan kementerian baru justru akan menambah kerumitan birokrasi, bukan menyederhanakannya. Pengalaman bertahun-tahun yang dimiliki Kementerian Agama dalam mengelola haji justru menunjukkan bahwa kementerian tersebut sudah punya mekanisme yang cukup efektif, meski tentu masih bisa ditingkatkan.
Baca juga:
- SAUJANA: 2 Banser Ajaib Gus Dur, Pria Jatmika, dan Siap Insya Allah!
- Napak Tilas Keberanian: GP Ansor Pacitan Gelar Apel Kesaktian Pancasila di Monumen 48
Sangat jelas bahwa usulan ini menyimpan motif tersembunyi: pengambilalihan kontrol atas keuangan umat. Setiap tahun, dana triliunan rupiah dari jamaah haji dikelola oleh BPKH, sebuah jumlah yang sangat besar dan menggoda bagi para politisi yang melihat haji sebagai ladang basah. Pengambilalihan dana ini melalui pembentukan kementerian baru adalah upaya halus untuk menguasai dan mengeksploitasi sumber daya finansial umat Islam.
Tak berhenti sampai di situ, usulan ini juga menunjukkan minimnya pemahaman para pengusul tentang penyelenggaraan haji dan tanggung jawab negara. Bagi mereka, haji tampak lebih seperti sebuah objek ekonomi daripada sebuah kewajiban agama yang harus dipenuhi dengan amanah dan tanggung jawab besar. Bahkan, alasan-alasan seperti “kasihan Kementerian Agama terlalu sibuk” hanyalah pengalihan dari motif sesungguhnya: mengontrol arus keuangan yang besar dari jamaah haji.
Usulan ini bukan hanya berbahaya, tetapi juga sangat tidak etis. Penyelenggaraan haji bukanlah sektor yang bisa diprivatisasi atau diperlakukan layaknya perusahaan yang mencari keuntungan. Haji adalah kewajiban suci bagi umat Islam, dan negara memiliki tanggung jawab untuk memfasilitasinya dengan amanah, transparansi, dan akuntabilitas, bukan menjadikannya lahan yang bisa digarong oleh para politisi dengan cara halus.
Oleh karena itu, wacana pembentukan Kementerian Haji dan Infak ini harus kita pandang dengan sangat kritis. Masyarakat harus sadar bahwa di balik usulan ini ada kepentingan terselubung yang lebih besar, yaitu penguasaan keuangan umat yang sangat potensial. Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi amanah dan kejujuran, kita harus menolak segala bentuk eksploitasi terhadap ibadah haji dan zakat, serta menuntut transparansi penuh dalam pengelolaannya. Pemerintah seharusnya memperkuat mekanisme yang sudah ada, bukan membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan.
Oleh: Ahmad Taufiq, Sekretaris MWCNU Windusari Magelang