Membuang Kawan, Merangkul Lawan
PERADABAN.ID – Dalam dinamika politik Indonesia modern , fenomena “membuang kawan merangkul lawan” memang sering terjadi dan dapat dilihat dari berbagai peristiwa sepanjang sejarah politik.
Salah satu contoh yang cukup terkenal adalah ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi Presiden. Pada pemilihan presiden 2004, SBY awalnya berkoalisi dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dipimpin oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Namun, setelah terpilih, SBY mulai menjalin hubungan dengan partai-partai lain dan lebih banyak fokus pada koalisi baru, seperti Partai Golkar dan Partai Demokrat yang ia dirikan.
Contoh lainnya dapat dilihat dalam pemilu 2019, ketika Prabowo Subianto, yang sebelumnya merupakan lawan politik Jokowi, akhirnya dirangkul Jokowi dan bergabung dalam kabinet sebagai Menteri Pertahanan. Hal ini menunjukkan perubahan aliansi yang drastis, di mana mantan lawan politik kini bekerja sama dalam pemerintahan.
Fenomena serupa juga terlihat dalam praktik politik lokal dan regional, di mana banyak politikus beralih dari satu koalisi ke koalisi lainnya sesuai dengan kepentingan dan situasi yang ada. Kawan-kawan politik yang lama sering kali ditinggalkan demi menegosiasikan kekuatan baru dengan pihak yang sebelumnya dianggap sebagai lawan.
Dinamika politik di Indonesia menunjukkan bahwa hubungan antar politikus dan partai dapat berubah dengan cepat tergantung pada kepentingan dan situasi yang sedang dihadapi, sering kali mengarah kepada situasi di mana kawan politik ditinggalkan dan lawan politik diajak berkolaborasi.
Karenanya, sebagai manusia politik tidak boleh patah arang pada dunia politik? Betapapun persona itu sudah memberikan sumbangsih yang sangat besar kepada kemenangan politik seseorang?
Apa yang harus dilakukan oleh persona yang “ditinggalkan” secara politik? Meski dia telah berbuat dan memberi banyak pada kawan politiknya? Sebagaimana yang telah dilakukan Yaqut Cholil Qoumas pada sumbangan kemenangan Prabowo Subianto dalam kontestasi pemilu Presiden beberapa waktu lalu, misalnya?
Kekecewaan setelah memberikan kontribusi besar pada suatu kampanye politik, namun kemudian ditinggalkan, adalah pengalaman yang menyakitkan, sekaligus mematangkan dan makin mendewasakan. Demikianlah harga mahal sebuah proses pendalaman, pe-menep-an.
Hal ini dipastikan bukan hanya dialami dan terjadi oleh Gus Yaqut atau Gus Tutut, tetapi juga banyak individu lain yang terlibat dalam proses politik sekelas Pemilu Presiden. Tidak ada jaminan posisi atau imbalan tertentu dalam politik, meskipun sumbangan yang diberikan sangat besar. Sistem politik, khususnya dalam konteks demokrasi, memiliki dinamika dan pertimbangan yang kompleks sekaligus absurd di luar sekadar kontribusi individu.
Karena kita semua maklum, politik adalah arena perebutan kekuasaan dan pengaruh. Keputusan-keputusan yang diambil seringkali didasarkan pada berbagai faktor, termasuk pertimbangan strategi, keseimbangan kekuatan, dan bahkan pertimbangan personal. Meskipun kontribusi seseorang sangat signifikan, faktor-faktor lain tersebut dapat memengaruhi keputusan final.
Bagi seseorang yang merasa ditinggalkan secara politik, setelah memberikan kontribusi besar, tidak ada yang lain selain melakukan proses penerimaan sebelum akhirnya berdamai dengan kenyataan.
Untuk manusia sekelas Gus Tutut, tentu sudah sangat kenyang pada persoalan politik semacam ini. Menerima kenyataan bahwa politik memiliki dinamika yang tak selalu terduga adalah langkah pertama yang penting.
Tawar hati memang wajar, tetapi penting untuk tidak terjebak dalam penyesalan yang berkelanjutan. Dan Gus Tutut lebih dari tahu tentang penyikapan pada hal semacam ini. Seperti menggarami lautan jika berbicara tentang politik, intrik dan konsekwensinya kepada putra K.H. Muhammad Cholil Bisri ini.
Bahkan dalam beberapa kesempatan, mantan orang nomor satu Banser, itu mengatakan, dia bukan tipikal persona yang mengejar jabatan. Karenanya, dia lebih memilih untuk fokus pada tujuan pribadi dan rencana masa depan. Karena dia sangat menyadari, kontribusi politik bukanlah satu-satunya ukuran keberhasilan dalam hidup.
Ada banyak hal lain yang dapat dicapai dan dikembangkan. Seperti saat ini, Gus Tutut lebih memilih “menarik diri ke dalam”, lalu menganalisa pengalaman politiknya kali ini, demi memahami dinamika politik dan mempersiapkan diri untuk terlibat dalam aktivitas politik di masa mendatang dengan lebih bijak dan berani.
Termasuk pembelajaran strategi politik yang lebih efektif sembari terus membangun jaringan yang lebih kuat. Karenanya, dia akan terus berkiprah di dunia politik sepenuhnya, dengan sebisa mungkin tidak ada sakit hati di sana. Ada banyak cara lain untuk berkontribusi dalam dunia politik, diantaranya melalui partisipasi dalam organisasi masyarakat sipil atau kegiatan sosial-politik lainnya.
Intinya, “lubang dan onak” dalam politik adalah bagian dari proses. Yang penting saat ini adalah bagaimana mampu mengelola “luka akibat ditinggal kawan” tersebut menjadi hal positif, dengan terus berkontribusi bagi masyarakat melalui jalur yang berbeda.
Gus Tutut bukan persona yang mudah atau merasa bahwa kontribusi politiknya tidak dihargai, hanya karena tidak mendapatkan imbalan materi atau posisi tertentu. Nilai kontribusi Gus Tutut tetap ada, terlepas dari hasil politiknya. “Kita lihat titiknya, nanti,” kata Gus Tutut ihwal kondisi politiknya kiwari dengan tenang.
Meski kita masih ingat bersama, calon presiden (capres) nomor urut 2, Prabowo Subianto, yang saat ini menjadi Calon Presiden Terpilih, pernah melemparkan candaan kepada Gus Tutut dalam acara Sarasehan Peningkatan Kemandirian Pesantren di JIEXpo Kemayoran, Jakarta, Sabtu (16/12/2023).
Dalam agenda yang digagas Kementerian Agama (Kemenag) dan menghadirkan 2.000 lebih pengelola pondok pesantren (Ponpes) se-Indonesia. Prabowo yang saat itu hadir sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) sempat berkelakar bahwa Gus Tutut akan terus memiliki peran di Indonesia.
“Saya tenang karena ada Gus Yaqut di sebelah saya. Saya ini punya firasat, sepertinya Gus Yaqut akan berperan terus di Republik ini,” kata Prabowo di depan Gus Tutut yang saat itu duduk sebagai Menag RI, dan seluruh peserta.
Tapi demikianlah politik. Hanya yang terpilih mampu menyikapi peristiwa politik yang tidak mudah ini dengan cara yang luar biasa.
Di tengah kecenderungan para politisi yang seringkali harus membuat keputusan cepat dalam situasi krisis, yang turunannya dapat mengurangi kesempatan untuk melakukan analisis mendalam. Semoga keputusan mengabaikan Gus Tutut tidak akan membuat menyesal Presiden Terpilih di masa yang akan datang. Karena disadari atau tidak, akan membuka keniscayaan backfire.
Menimbang politisi sekelas Mike Pompeo, mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat saja memuji peran Banser (Barisan Ansor Serbaguna, yang saat itu masih ada di bawah komando Gus Tutut) dan Nahdlatul Ulama (NU), karena peran mereka mempromosikan toleransi beragama dan menjaga keamanan di Indonesia. Sekaligus menentang ekstremisme.
Dalam konteks hubungan internasional, Mike Pompeo, ingin mengatakan di bawah kendali Gus Tutut, Banser dan NU (di bawah pimpinan Gus Yahya yang notabene kakak Gus Tutut) mencerminkan daya tarik terhadap nilai-nilai pluralisme dan toleransi, yang dianggap penting untuk stabilitas di kawasan Asia Tenggara.
Karenanya Pompeo mendorong kemitraan strategis dengan negara-negara yang memiliki komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Secara keseluruhan, pujian tersebut dapat dipandang sebagai langkah untuk memperkuat hubungan antara AS dan Indonesia, serta sebagai bentuk pengakuan terhadap kontribusi positif organisasi-organisasi tersebut dalam masyarakat.
Pompeo saja melek dengan kapasitas Gus Tutut. Dengan memberikan pengakuan terhadap kontribusi positifnya dalam menjaga stabilitas sosial dan keagamaan di Indonesia. Mosok yang di depan mata malah tak tampak. Sedangkan “kuman”, dan lawan politik di seberang lautan malah tampak, dan justru mendapatkan tempat.
Memang, politik tidak sehitam putih itu. Politik membuang kawan merangkul lawan, acap terjadi dalam semesta politik. Tuan dan puan masih ingat, saat Rhoma Irama ditelikung siapa, dimanfaatkan siapa, lalu dibuang siapa? Dalam tataran lebih ekstrim, siapa yang mencuri PKB dari pangkuan mendiang Gus Dur dengan bantuan rezim berkuasa saat itu?
Baca juga: Gus Men The Blues Man: Sinar Cemerlang di Kementerian (Semua) Agama
Rhoma Irama ditelikung dalam konteks pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden 2004. Saat itu, Rhoma Irama berharap menjadi calon wakil presiden atau mendapat dukungan dalam pencalonannya. Namun, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) saat itu memanfaatkan nama besar Rhoma demi menaikkan raihan suara partainya, sebelum akhirnya berbalik memutuskan untuk mendukung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla, sehingga menghalangi peluang Rhoma Irama untuk maju dalam kancah politik secara lebih serius.
Keputusan meninggalkan Rhoma saat itu dianggap sebagai pengkhianatan oleh banyak pihak, termasuk Rhoma sendiri, yang merasa ditinggalkan dalam ambisinya untuk berkiprah lebih dalam di dunia politik.
Ihwal penelikungan kepada Gus Dur, semua orang maklum duduk perkaranya. Jadi bagaimana mungkin orang semacam ini, yang sempat bersemuka secara politik dengan sangat super keras dengan presiden terpilih, malah dirangkul? Sedangkan kawan seiring yang jelas jerih payahnya dan tidak kecil sumbangsihnya malah ditinggalkan?
Atau barangkali Prabowo sedang mengamalkan pepatah lawas; “Keep your friends close, but your enemies closer,” dengan diam-diam sedang menjalankan titah mengawasi musuhnya dengan lebih cermat dan dekat.
Ide utamanya bukan untuk lebih dekat dengan musuh politiknya daripada dekat dengan kawan politiknya, melainkan untuk memahami motif dan rencana musuh politiknya dengan lebih baik.
Dengan begitu, Prabowo dapat mempersiapkan diri menghadapi potensi ancaman dan meminimalisir kerusakan. Lalu mempunyai maksud tersembunyi kepada kawan politiknya yang sengaja ditinggalkan untuk sementara? Sembari menunggu reaksinya? Apakah berbalik melawannya, atau bersabar atas keputusan politik tidak populernya? Semacam batu uji?
Apapun itu, inilah saatnya PBNU dan Banser berkonsolidasi ulang, setelah diabaikan perannya oleh calon pemegang kekuasaan. Dengan kembali memetakan jalan politiknya ke depan, sehingga tidak melulu terus dimanfaatkan, setelah itu, lagi-lagi kembali ditinggalkan atas nama apapun.
Wallaualam bisawab.
Benny Benke, jurnalis dan penyair.