Kongres GP Ansor, Mindset Maritim, dan Collective Genius
![](https://peradaban.id/wp-content/uploads/2024/02/WhatsApp-Image-2024-02-02-at-18.47.48-780x470.jpeg)
PERADABAN.ID – Gerakan Pemuda (GP) Ansor, organisasi kepemudaan terbesar di Indonesia, membuat inovasi. Pertama dalam sejarah, organisasi yang merupakan Badan Otonom (Banom) dari Nahdlatul Ulama (NU) ini menggelar kongres di laut menggunakan Kapal Pelni KM Kelud, jum’at (2/1/2024).
Sekitar 1.700 kader akan berkongres di atas kapal, yang akan dimulai dari Tanjung Priok, Jakarta, dan akan berakhir di Tanjung Emas, Semarang. Total kapal ini akan menempuh samudera kurang lebih 210 naval miles. Rute ini tentu bukan rute primadona saat ini, terlebih sudah ada tol lintas jawa yang kini menjadi primadona.
Berkongres di atas kapal, memang sekilas terkesan sederhana dari sebuah inovasi ini. Tapi, hemat penulis, hal kreatif ini patut diapresiasi, terlebih ada makna yang mendalam dari kongres tidak lumrah ini.
Di lautan lepas, nenek moyang kita pernah jaya. Nenek moyang kita biasa disebut sebagai pelaut ulung, penghempas samudera, tapi atas itu semua, kita tidak pernah melupakan daratan dan udara. Apalagi, wali songo, penyebar Islam di tanah jawa juga menggunakan kapal laut untuk sarana dakwah. Mungkin karena inilah, wali songo banyak muncul di pesisir laut utara jawa.
Baca Juga
Nusantara mempunyai sejarah maritim yang panjang. Kehidupan maritim kita, sudah dimulai sejak zaman pra sejarah hingga massa kini. Kerajaan seperti kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, memiliki kehidupan maritime yang maju. Bahkan, Majapahit disebut menguasai sebagai besar wilayah maritim di Asia Tenggara pada abad ke-14 dan ke-15.
Dengan kongres di laut ini, diharapkan bisa menjadi pengingat soal pentingnya mindset kita sebagai negara maritim. Di tengah pembangunan infrastruktur yang luar biasa besarnya, kita tidak boleh “memunggungi” laut. Kita harus tetap menghadap ke laut, dengan menjadikan kebijakan maritim sebagai salah satu mindset kemajuan bangsa ini.
Laut mempunyai kekayaan ekonomi yang luar biasa. Karena inilah, ada istilah ekonomi kelautan atau marine ekonomi. Setidaknya ada sembilan kekayaan laut, yang ketika di eksploitasi, tidak akan berkurang. Sembilan kekayaan itu adalah perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, sumber daya migas dan mineral, rumput laut, transportasi laut, keindahan pantai, taman laut, hingga pertahanan laut. Kekayaan laut ini perlu dimaksimalkan melalui kebijakan-kebijakan strategis oleh pemerintah. Terlebih, Indonesia mempunyai 17 ribu pulau dengan panjang garis pantai 180 ribu kilometer. Pulau-pulau ini harus dipikirkan konektivitas antar pulau, serta bagaimana garis pantai yang begitu panjang, bisa produktif dan bergeliat menjadi pusat ekonomi baru.
Dengan adanya kongres di laut ini, GP Ansor bisa menjadi mortir pengingat tentang pentingnya mindset terhadap kebijakan-kebijakan maritim. Terlebih, dalam debat calon presiden sebelumnya, kita belum pernah mendengar soal visi besar maritim calon pemimpin kita.
Selain soal filosofi laut, juga terdapat filosofi gunung kelud (nama kapal yang digunakan berkongres), yang bisa kita jadikan pelajaran soal langkah gerak GP Ansor dan Indonesia ke depan. Di Gunung Kelud yang berada di Kediri, mempunyai kisah legenda soal dua orang raja dan janji dewi kalisuci.
Baca Juga Periuk
Syahdan, gunung kelud memiliki cerita tentang seorang perempuan cantik bernama Dewi Kilisuci, anak dari Jenggolo Manik. Dewi Kilisuci memiliki kedudukan sebagai putri mahkota Kerajaan Jenggala, kala itu. Ia dilamar oleh dua orang raja. Namun, raja tersebut bukan berwujud manusia seutuhnya, satu pelamar berkepala lembu yang bernama Raja Lembu Suro dan satu lagi yang berkepala kerbau, bernama Raja Mahesa Suro.
Dewi Kilisuci ingin menolak lamaran tersebut. Namun, ia ingin memberikan tantangan kepada dua raja itu. Ia pun membuat sayembara yang tidak mampu dilakukan manusia biasa, yaitu berupa tantangan membuat sumur di atas puncak Gunung Kelud. Ada dua jenis sumur yang harus dibuat, satu sumur berbau amis dan satu sumur lagi sumur berbau wangi. Pembuatan sumur harus selesai dalam satu malam sebelum ayam berkokok.
Dengan kesaktiannya, Mahesa Suro dan Lembu Suro menyanggupi sayembara tersebut. Setelah bekerja semalam suntuk, keduanya berhasil memenangkan sayembara tersebut. Namun Dewi kalisuci belum mau diperistri. Ia mengajukan satu permintaan lagi. Kali ini permintaan sang putri adalah kedua raja harus memastikan bahwa kedua sumur itu benar-benar berbau amis dan wangi. Caranya, mereka berdua harus masuk ke dalam sumur. Mahesa Suro dan Lembu Suro pun mengikuti permintaan Dewi Kilisuci, keduanya masuk ke dalam sumur yang sangat dalam yang dibikin sendiri. Lalu, Dewi Kilisuci memerintahkan prajurit untuk menimbun sumur dengan batu.
Akhirnya, dua raja tidak terselamatkan di atas Gunung Kelud. Sebelum mati, Lembu Suro bersumpah sempat bersumpah dalam bahasa Jawa. “Yoh, wong Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping kaping. Yoiku, Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, Tulungagung bakal dadi kedung”.
Artinya, ya orang Kediri besok akan mendapatkan balasanku yang sangat besar. Kediri akan menjadi sungai, Blitar akan menjadi daratan, dan Tulungagung akan menjadi danau. Masyarakat setempat mempercayai legenda itu. Sebagai tolak bala, penduduk di lereng Gunung Kelud memberikan sesaji yang disebut Larung Sesaji setiap 23 bulan suro.
Pesan Moral Legenda Gunung Kelud Setiap keputusan yang diambil harus dipikirkann terlebih dahulu, jangan sampai menyesal di kemudian hari. Begitu juga dengan kongres GP Ansor ini, penulis berharap kebijakan-kebijakan strategis bisa dipikirkan terlebih dahulu, jangan sampai gegabah sehingga merugikan organisasi.
Baca Juga
Collective Genius
Sebagai organisasi pemuda yang sangat besar, penulis beraharap nantinya kepengurusan di bawah Ketua Umum yang baru, yang akan menggantikan Gus Yaqut Cholil Qoumas, bisa menerapkan collective genius atau kegeniusan kolektif (bersama-sama).
Dalam salah satu artikelnya di Harvard Bussines Review, tiga penulis kenamaan yakni Linda A Hill, Greg Brandeau, dan Emily Truelove menyebutkan bahwa pemimpin yang sukses menelurkan inovasi-inovasi keren, adalah kepemimpinan yang tidak satu arah. Melainkan pemimpin yang menjadi dirigen, terhadap tumbuh kembangnya inovasi di organisasi tersebut.
Karena inilah, jika GP Ansor ingin konsisten menjadi organisasi kepemudaan yang relevan terhadap perkembangan zaman, maka diperlukan kejeniusan kolektif yang diciptakan. Bagaimana orang-orang terbaik, bekerja dalam satu kesatuan untuk tujuan organisasi, bukan bekerja sendiri-sendiri, untuk tujuan diri sendiri. Inilah yang disebut kejeniusan kolektif.
Dengan kejeniusan kolektif, penulis yakin GP Ansor bisa mengarungi abad kedua Nahdlatul Ulama’ dengan lebih hebat lagi. Tentu saja, GP Ansor tidak hendak membangun sumur sebagaimana cerita rakyat di Gunung Kelud, tapi GP Ansor hendak membangun peradaban untuk kemajuan umat manusia. Selamat berkongres, organisasiku. Seribu rintangan, patah semua.
*Oleh: Mahdi Kherid, Wakil Ketua PW GP Ansor Jawa Timur dan Kapala Badan Cyber Ansor Jatim.
2 Comments