Gus Yahya: Agenda NU Menciptakan Harmoni, Bukan Penaklukan

PERADABAN.ID – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Ketum PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), kini tengah berupaya untuk mengumpulkan para pemimpin agama dunia guna membentuk peradaban baru yang lebih agung.
Forum Religion Twenty (R20) yang diadakan di Bali pada November 2022 dan Konferensi Dialog Antarbudaya dan Antaragama ASEAN (IIDC) yang akan datang pada tanggal 7 Agustus 2023, adalah beberapa upaya PBNU dalam membangun peradaban global yang lebih baik.
Usaha untuk menghimpun para pemimpin agama dunia merupakan langkah konkret menuju pengwujudan cita-cita mendasar NU. Menurut Gus Yahya, NU berdiri atas mandat peradaban. Namun, agenda peradaban yang diimpikan oleh NU tidak memiliki ambisi untuk penaklukan dan dominasi.
Dalam bukunya yang berjudul “Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama,” Gus Yahya menekankan bahwa NU tidak didirikan semata-mata untuk menentang aliran Wahabi di wilayah Hijaz.
Baca Juga
- Berita dan informasi Gus Yahya terbaru
- Jaga Keberagaman, Menag Godok Klausul Kemudahan Mendirikan Rumah Ibadah
“Meskipun hal ini mungkin berkaitan dengan kontrol keluarga Saud atas Hijaz, mungkin ada kebenarannya, tetapi bukan hanya tentang Wahhabisme,” ungkap Gus Yahya, dikutip dari buku PBNU tahun 2020 pada Kamis, 3 Agustus 2023.
Gus Yahya menyoroti bahwa pendirian Kerajaan Arab Saudi adalah momen penting yang telah memainkan peran signifikan dalam dinamika sejarah dunia selama hampir satu abad.
Pada dasarnya, berakhirnya Kekaisaran Utsmaniyah pada tahun 1920-an menjadi titik balik yang mendasar dalam sejarah peradaban Islam secara keseluruhan. Ia menjelaskan bahwa kekokohan peradaban Islam selama 13 abad sebelumnya kini telah memasuki fase yang tidak dapat terbalikkan. Bahkan, Gus Yahya menyebut keadaan dunia Islam saat ini sebagai masuknya musim gugur peradaban.
Lebih lanjut, Gus Yahya menyatakan bahwa wilayah Nusantara mewakili pinggiran dalam kerangka peradaban Islam. Ia menyatakan bahwa Nusantara bukan bagian dari pola sosial-budaya yang dominan oleh pusat-pusat kekuasaan Islam, baik itu masyarakat Sunni yang diperintah oleh Dinasti Utsmaniyah di Istanbul maupun masyarakat Syiah di bawah Dinasti Safawi di Isfahan.
Baca Juga Jangan Minta Sumbangan, Gus Yahya Dorong NU Hadir Pecahkan Persoalan Masyarakat
Karena itu, Gus Yahya meyakini bahwa adalah wajar bagi pola sosial-budaya yang unik untuk berkembang di kalangan umat Islam di Nusantara, berbeda dari pola yang lebih umum terlihat di bagian lain dunia Islam.
Gus Yahya menjelaskan bahwa runtuhnya Kekaisaran Utsmaniyah juga mengakhiri kekuasaan Dinasti Safawi yang menjadi pesaing selama hampir 2,5 abad, sehingga menghentikan ekspansi politik Islam. Momen ini juga menandai era baru dalam sejarah peradaban dunia, ditandai dengan dominasi Barat.
Sebagai hasilnya, menurut Gus Yahya, dunia Islam harus melakukan perjuangan untuk mencari model baru bagi peradabannya sendiri.
Corak Sosial-Budaya Khas Nusantara
Setelah abad ke-16, Nusantara mengembangkan corak sosial-budaya yang berbeda dari pengaruh Utsmaniyah dan Safawi. Nusantara menawarkan alternatif yang dapat dipertimbangkan dalam upaya mencari model peradaban baru.
Corak unik inilah yang mendorong para ulama untuk mendirikan NU, sebuah institusi perintis untuk ikut serta dalam usaha ini.
Baca Juga PBNU dan Dubes Australia Menjalin Kemitraan Baru untuk Meningkatkan Hubungan Bilateral
“Jelas bahwa agenda mutlak NU adalah membangun peradaban. Apakah ini bersifat sombong? Tidak. NU tidak memiliki tekad untuk penaklukan dan dominasi,” klarifikasi Gus Yahya.
Namun, ia menambahkan bahwa NU berniat untuk berkontribusi sambil sepenuhnya menyadari bahwa ada pelaku-pelaku mulia di luar sana, baik dari dalam lingkungan Islam maupun di luar, yang memiliki hak yang sama dalam menentukan masa depan umat manusia.
Gus Yahya menekankan bahwa membangun kerangka sosial-politik adalah esensial sebagai dasar bagi upaya ini. NU membedakan dirinya dari organisasi-organisasi lain pada zamannya.
“NU datang dengan kerangka sosial-politik yang hampir tidak memiliki kekuatan negara. NU mewakili komunitas dengan ikatan budaya yang kuat, bahkan memiliki bentuk ‘struktur kekuatan’ melalui pengaruh para kiai dengan kendali substansial atas jemaahnya,” jelas Gus Yahya.
Baca Juga
- Harlah PKB Ke-25, Gus Yaqut: Selamat Ulang Tahun PKB-Ku
- Haji Hasan Gipo dan Kisahnya tentang Kereta Api
Meskipun NU memiliki ‘struktur kekuatan’ ini, itu saja tidak cukup untuk membangun peradaban baru yang lebih agung. Karena itu, bersama dengan elemen-elemen bangsa lainnya, NU juga berpartisipasi dalam advokasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dengan kesadaran penuh akan kebutuhan akan negara yang independen.
“Tidak ada niat sedikit pun untuk bergabung dengan bagian lain dunia Islam menjadi satu entitas, untuk menghidupkan kembali Kekaisaran Utsmaniyah atau sejenisnya. Waktu tidak bisa dipaksa untuk mundur, dan kedatangan era peradaban baru telah menjadi kesadaran bersama,” tegas kiai kelahiran Rembang tersebut.
Secara keseluruhan, artikel ini menyoroti upaya Gus Yahya dan sikap NU dalam berjuang demi peradaban yang lebih baik, tanpa ambisi penaklukan. Artikel ini juga membahas pergeseran sejarah, keunikan corak sosial-budaya di Nusantara, dan peran NU dalam membangun peradaban baru dengan menghormati beragam tatanan dunia.
3 Comments